FIQH

Fardlunya Haji 

Oleh: Omar Effendy

Abu Bakar Al Jashas menjelaskan tentang firman Allah :Walillahi alan nasi hijjul baiti man istato’a ilaihi sabila, kalau melihat dhohirul ayat ini sudah jelas, bahwa haji itu diwajibkan apabila sudah memenuhi syarat dalam perjalanan menuju ke Baitullah. Orang orang yang sudah dihukumi wajib haji, ialah setiap orang yang sudah memungkinkan dan mampu berangkat ke Makah, Allah telah menjelaskan dalam FirmanNya: Fahal ila khurujin min sabil, apa yang dimaksud dengan sabil dalam ayat tadi? yaitu: Sampai. Rasulullah SAW mensyaratkan adanya kemampuan seseorang ke Baitullah apabila orang tersebut sudah mempunyai bekal dan kendaraan. Rasulullah bersabda yang diriwayatkan oleh Abu Ishaq dari Harist dari Ali Ra: Barang siapa sudah memiliki bekal dan kendaraan yang bisa menghantarkan dia ke Baitullah, sedang dia tidak mau berhaji maka dia disuruh memilih untuk mati Yahudi atau Nasrani.


Menurut Abu Bakar Al Jashash: Adanya bekal dan kendaraan dalam perjalanan, yang disebutkan dalam Alqur’an ini merupakan syarat syarat wajibnya haji, tetapi persyaratan tersebut tidak hanya terbatas di situ saja, karena orang sakit, orang yang takut, orang tua yang tidak bisa naik kendaraan, orang lumpuh dan orang orang yang udzur yang tidak bisa sampai ke sana itu termasuk orang yang tidak mampu berhaji walaupun mereka memiliki bekal dan kendaraan. Rasulullah menjelaskan adanya ‘Al’istito’atu Al Zad Wal Rahillatu ‘‘ itu merupakan syarat- syarat keseluruhan istito’ah, dengan penjelasan ini maka batallah pendapat yang mengatakan: Orang yang mungkin bisa berjalan kaki ke Baitullah tetapi tidak punya bekal dan kendaraan maka baginya wajib haji, maka Rasulullah menerangkan bahwa Sesungguhnya diwajibkannya haji itu khusus bagi orang yang berkendaraan, bukan orang orang yang berjalan kaki, dan sesungguhnya orang orang yang tak mungkin datang ke sana kecuali dengan berjalan kaki yang bisa menimbulkan masyaqot atau kesulitan maka baginya tidak wajib haji. Apabila ada pendapat yang mengakatakan: Bagi orang yang tidak punya bekal dan kendaraan tetapi memungkinkan untuk berjalan kaki, sayogyanya haji tersebut tidak diwajibkan, kecuali jarak perjalanan antara orang tersebut dengan kota Makah hanya satu jam, maka pendapat tersebut dijawab: Apabila di perjalanan dia tidak menemui kesulitan yang teramat sangat, dan adanya kemudahan untuk mendapatkan bekal serta kendaraan, bagi orang yang negaranya jauh dari Mekah. 

Dan sudah maklum sesungguhnya syarat adanya bekal dan kendaraan itu tidak menimbulkan masyaqat dan mudlorot bagi pejalan kaki. Apabila ada penduduk Mekah dan negara-negara terdekat tidak mendapatkan masyaqot dalam perjalanannya waktu siang hari, maka hal ini dinamakan orang yang mampu menempuh perjalanan(istito’ah lil sabil). Apabila ada orang yang tidak bisa sampai ke Baitullah, kecuali sampainya dengan cara yang sangat sulit /masayaqot , maka Allah meringankan beban baginya, dan Allah tidak mewajibkannya kecuali dengan syarat yang sudah disebutkan pada penjelasan Nabi SAW.: Wamaa jaala alaikum fi ddini min harraj.Artinya Allah tidak mempersulit kamu semua di dalam menjalankan agama.
Menurut kami Abu Bakar Al Jashas: Mahrom bagi wanita itu merupakan bagian dari syarat-syarat diwajibkannya haji, hadist yang diriwayatkan dari Nabi SAW,’’ Tidak dihalalkan bagi wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir, pergi melebihi waktu tiga hari kecuali bersama mahromnya”. Juga didukung oleh hadist yang diriwayatkan oleh Amr bin Dinardari Ma’bad dari Ibnu Abas berkata: Rasulullah SAW berkhotbah:Seorang perempuan tidak boleh pergi kecuali dia bersama mahromnya , maka bertanyalah salah seorang sahabat: Ya Rasulullah sesungguhnya kami telah mengikuti sebuah peperangan, sedangkan isteri saya benar benar ingin berhaji. Maka Rasulullah memerintahkan berhajillah dengan istrimu. Hal ini menunjukkan sesungguhnya qoul: La tusafiru illa wa ma’aha dzu mahromin. Disini ada tiga tingkatan bagi wanita mengenai safar, Pertama: Sesungguhnya laki laki itu minta pendapat pada Nabi yaitu tentang keinginan haji istrinya, namun Rasul tidak melarang, disini telah ditunjukkan bahwa yang dimaksud larangan pergi, tidak hanya pergi haji saja tetapi pergi secara keseluruhan. Kedua sabda Nabi: Hajj ma’a imroatik, disini telah ditunjukkan bahwa perintah pergi bersama istri itu terbatas hanya haji saja, ketiga Nabi memerintah sahabat tersebut meninggalkan perang untuk menghantar istrinya berhaji, seandainya perempuan itu boleh haji tanpa mahrom atau suami maka Nabi tidak memerintahkan meninggalkan perang, dengan pengertian, meninggalkan fardlu untuk melakukan hal sunah, dalam hal ini juga menunjukkan dalil bahwa haji bagi wanita itu hal yang fardlu bukan suatu yang sunah, karena seandainya haji itu sunah bagi wanita, maka perintah Rasulullah meninggalkan fardlunya perang itu untuk suatu hal yang sunah. Dan ada argumentasi lain bahwa Nabi tidak mempersoalkan apakah ibadah haji wanita itu haji sunah atau fardlu, wanita tersebut harus tetap didampingi oleh mahromnya atau suaminya, dengan alasan ini menunjukkan dalil adanya kesamaan hukum larangan bagi wanita bila pergi tanpa mahram, oleh karena itu adanya mahram bagi wanita itu merupakan syarat istito’ah. Dengan demikian jelaslah bahwa adanya mahrom bagi wanita itu wajib. Larangan bagi wanita pergi tanpa adanya mahrom itu merupakan dalil yang mu’tabar.

Dan pengarang kitab ini, di atas telah menyebutkan syarat syarat wajibnya haji, syarat- berikutnya adalah memungkinkan adanya orang yang haji bisa duduk menetap di kendaraan, sesuai hadis yang disampaikan Abdul Baqi’ bin Qoni’ dari Ibnu Abas: Sesungguhnya wanita dari bani Khosangam bertanya kepada Rasulullah saat haji wada’: Ya Rosul sesungguhnya Allah mewajibkan haji kepada hamba-hambanya, saya meninggalkan bapak saya yang sudah tua yang tidak mampu duduk menetap di kendaraan, apakah kami wajib menghajikannya, Rasul menjawab: Ya hajikanlah bapakmu. Rasulullah membolehkan kepada wanita untuk menghajikan bapaknya, dan tidak wajibkan bagi laki-laki tersebut melaksanakan haji dengan dirinya sendiri, tetapi bisa diwakilkan kepada orang lain, maka dengan demikian ditetapkannya syarat istitoah itu adalah adanya kemungkinan bisa sampai ke Mekkah. Orang-orang yang sakit, orang lumpuh,juga perempuan itu tidak wajib melaksanakan hajinya sendiri, tetapi bisa mewakilkan kepada orang lain walaupun mereka punya bekal dan kendaraan. Apabila mereka wafat hendaknya berwasiat untuk menghajikannya.
Terdapat perbedaan pendapat mengenai hajinya orang fakir, menurut ulama Hanafiin dan Syafii: Tidak wajib haji bagi orang fakir, seandainya mereka haji maka hal ini sudah mencukupi dan menggugurkan kewajibannya, sedangkan menurut Imam Malik, orang fakir wajib haji seandainya ada kemungkinan untuk berjalan kaki.
Juga terdapat perbedaan pendapat mengenai hamba sahaya yang berhaji , apakah sudah menggugurkan kewajibannya seandainya dia berhaji sebelum merdeka. Menurut ulama Hanafiin belum cukup, sedangkan menurut Imam Syafii hal itu sudah menggugurkan kewajibannya, seandainya hamba tersebut merdeka sudah tidak wajib haji lagi.
Dasar pendapat Imam Hanafi tentang hamba yang harus mengulangi hajinya setelah dia merdeka, dari hadis Nabi: Sesungguhnya syarat diwajibkan haji yaitu memliki bekal yang cukup dan kendaraan, sedangkan hamba tidak memiliki apa apa sama sekali, maka dia bukan termasuk ahli khitob tentang wajibnya haji.
Apa bila dikatakan: Orang fakir bukanlah termasuk yang diwajibkan haji karena tidak mempunyai harta dan kendaraan, seandainya dia haji maka gugurlah kewajibannya, begitu juga hajinya seorang hamba sudah menggugurkan kewajibannya, maka dikatakan : Sesunggguhnya seorang fakir termasuk ahli khitob atau orang yang diwajibkan haji, karena fakir termasuk orang yang yang tidak ada pemiliknya atau merdeka sedangkan hamba adalah orang yang tidak merdeka dalam arti punya pemilik atau tuan, hanya saja kewajiban haji bagi orang fakir itu gugur, karena dia tidak punya harta atau bekal dan kendaraan untuk menuju ke Baitullah, bukannya dia orang yang tidak merdeka. Ketika dia sudah sampai Mekkah dengan tanpa membutuhkan bekal dan kendaraan, dia sudah pada tingkatan derajat orang yang punya harta dan kendaraan, sedangkan kewajiban hajinya hamba bisa gugur, bukan karena tidak punya harta dan kendaraan, melainkan karena dia bukan orang merdeka. Apabila ada orang yang dimiliki oleh orang lain maka dia tidak wajib haji, oleh karena itu seandainya ada hamba yang berhaji maka hajinya belum mencukupi, pendapat demikian ini diumpamakan seperti anak kecil yang tidak terkena khitobnya haji, alasan ketidakwajiban haji bagi anak kecil bukan karena dia tidak punya harta dan kendaraan, tetapi anak kecil belum kena khitob karena belum baligh, dasarnya dari hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Abdul Baqi’ bin Qoni’ dari Ibnu Jabir: Seandainya ada anak kecil sudah haji sepuluh kali kemudian dia baligh maka dia wajib haji apabila sudah mampu, begitu juga bila ada orang a’robi sudah haji sepuluh kali kemudian hijrah maka dia wajib haji setelah mampu, jika ada seorang hamba berhaji sepuluh kali kemudian dia merdeka maka dia wajib haji apa bila sudah mampu. Keterangan hadis ini, seorang hamba wajib haji sekali lagi setelah dia merdeka walaupun sebelumnya sudah haji berkali-kali, namun semua itu tidak diperhitungkan, karena kedudukan hamba yang belum merdeka itu seperti anak kecil.

Kalau melihat dhohirnya ayat Walillahi alan nasi hijjul baiti. Menurut Abu Bakar al Jashosh dalam hidup ini kita cukup sekali dalam melaksanakan ibadah haji , tidak diwajibkan mengulangi berkali kali, apa bila kita sudah melaksanakan satu kali saja, maka melakukan satu kali haji sudah memenuhi kewajiban dalam ayat tadi. Dalam hal ini dikuatkan oleh hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Muhammad bin Abu Bakar dari Ibnu Abas; Sesunggunya Aqro’ bin Habs bertanya kepada Rasul apakah haji itu diwajibkan setiap tahun atau sekali saja seumur hidup, Rasul menjawab satu kali saja apabila lebih dari itu namaya haji tatowu’ atau sunah. Wallahu A’lam.