HUKUM

Poligami Dalam Perundang- Undangan Negara Muslim
Oleh : Ali Trigiyatno
Poligami dalam perundang-undangan
Dalam mengatur poligami terdapat beragam aturan di negara negara muslim dewasa ini, yang pada dasarnya ada semangat diantara mereka yakni bertujuan mengatur, membatasi dan berusaha melindungi dan menjamin hak-hak kaum perempuan yang sering berada pada posisi lebih lemah. Bahkan di antara negara negara itu ada yang melarang sama sekali dan menganggapnya sebagai tindak pidana yang dapat dipidana kurungan atau denda.

A. Negara yang melarang sama sekali poligami
Menarik sekali apa yang ditetapkan di negara Tunisia dan Turki. Di dua negara ini seorang pria tidak dapat melakukan poligami kecuali kalau ia ingin dipenjara atau didenda. Di Turki dan Tunisia poligami menjadi barang terlarang bagi pria.
Ketentuan yang melarang poligami ini di Tunisia diatur dalam undang-undang status perorangan (the code of personal status) tahun 1956 pasal 18. Dalam pasal ini dinyatakan dengan tegas bahwa poligami dalam bentuk apapun dan dengan alasan apapun dinyatakan sebagai hal terlarang, dan barangsiapa yang melanggarnya maka ia dapat dipenjara selama satu tahun atau denda 24.000 francs.( Muhammad Abu Zahrah: Tandzimu Al Usroh wa Tandzimun nasl.50)
Sedang di Turki ketentuan yang melarang poligami terdapat dalam civil code 1926 pasal 93, 112 dan 114 yang mana ketentuannya melarang poligami dan pelanggarnya dapat dijatuhi hukuman .( Mahmood Tahir: Personal Law in Islamic Countries:273)
Alasan yang dipakai kedua negara ini dalam melarang poligami adalah tidak mungkinnya dipenuhi syarat adil sebagaimana disyaratkan Alquran dalam poligami, dan Allah sendiri menyatakan dalam ayat lain “Walan tastati’u an ta’dilu baina An nisai walau harastum bihi” yang berarti kamu sekali kali tidak akan sanggup berlaku adil diantara istri-istrimu walau kamu sangat menginginkannya. Kalau syarat yang membolehkan tak terpenuhi dengan sendirinya kebolehan itu menjadi tidak ada.
B. Negara– negara yang memperketat pologami
Pada umumnya negara negara muslim dewasa ini bersikap cukup ketat dalam masalah poligami dengan melakukan serangkaian batasan batasan dan syarat syarat yang harus dipenuhi termasuk di dalamnya izin dari pengadilan. Di negara Lebanon, Yordania dan Maroko UU mereka memberikan hak kepada istri untuk mengajukan syarat saat akad nikah agar suaminya tidak melakukan poligami. Jika suami melanggar syarat ini maka ia dapat mengajukan cerai ke pengadilan. Di Yordania hal ini diatur dalam The Code of Personal Status 1976 pasal 19, sedang di Lebanon diatur dalam The law of Family right 1917- 1962 pasal 38. Di Maroko ketentuan ini diatur dalam the code of personal status 1957 – 1958 pasal 31.
Sedang di Indonesia, Irak, Malaysia, Somalia, dan Suriah seorang suami yang hendak melakukan poligami diharuskan mendapat izin terlebih dahulu dari pengadilan (Prior Permision Of The Court), sementara di Bangladesh dan Pakistan izin itu juga diharuskan dari semacam dewan arbitrase (a Quasi Judicial Body). Izin dapat diberikan di Irak dan Suriah jika terdapat alasan yang kuat dan sah (Lawful Reason). Di Pakistan, Banglades dan Malaysia izin poligami diberikan jika suami dipandang pengadilan mampu berlaku adil, bahkan Malaysia menambahkan bahwa dengan poligami itu istri-istrinya tidak mendapatkan mudlarat atau bahaya yang diakibatkan poligami. Sedang di Indonesia, Somalia dan Yaman selatan, pengadilan dapat memberi izin jika istri menderita mandul, cacat fisik atu penyakit yang tak dapat disembuhkan (Incurabe Disease) atau istri tidak dapat menjalankan tugasnya dengan baik di Indonesia, dan jika istri dipenjara lebih dari dua tahun di Yaman selatan. Dalam hal ini kemampuan finansial suami tetap diperhatikan dan jadi bahan pertimbangan dalam memberikan izin oleh pengadilan (Mahmood Tahir: Personal Lawin Islamic Countries:274)
C. Poligami melanggar persamaan hak antara laki laki dan perempuan
Sebagaian laki laki mengatakan bahwa pelarangan poligami merupakan pembatasan hak seseorang untuk melaksanakan ibadah. M Insa mengatakan Uji materi yang dia ajukan ke Mahkamah Konstitusi yang menggunakan dalih pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dinilai menghalangi hak berpoligami.
Dalam Pasal 4 Ayat 1 undang-undang itu, suami yang ingin beristri lebih dari seorang harus mengajukan permohonan kepada pengadilan. Untuk dapat mengajukan permohonan ke pengadilan, dalam Pasal 5 Ayat 1, suami disyaratkan harus memperoleh persetujuan dari istri, memiliki jaminan kemampuan memenuhi keperluan hidup istri-istri dan anak-anaknya, serta suami mampu bersikap adil.
Disebutkan, M Insa menilai aturan itu mengurangi hak kebebasan setiap warga negara berpoligami yang dianggap sebagai ibadah. Aturan itu juga mengurangi hak prerogatifnya untuk berumah tangga, bersifat diskriminatif, dan mengurangi hak asasi yang dijamin UUD 1945.
Namun pada sisi lain suara perempuan mengatakan bahwa Poligami merupakan pelanggaran hak laki laki terhadap wanita, seperti yang disampaikan oleh Damayanti Buchori.
Pertama, poligami sering diajukan sebagai hal yang baik dilakukan karena menghindari perselingkuhan dan perzinaan.
Pikiran ini benar bila dilihat poligami menyebabkan hubungan seksual antara lelaki dan perempuan menjadi "legal" di bawah naungan "lembaga perkawinan". Tetapi, seharusnya yang juga ditanyakan, semudah itukah orang melegalkan seks? Kenapa poligami seolah-olah meniadakan fakta sebelum ada poligami yang ada adalah perselingkuhan? Lalu, bagaimana dengan pengkhianatan? Masyarakat telah terlalu gampang membela poligami dengan menyatakan poligami akan menghindari perzinaan. Tidakkah poligami bisa dilihat juga sebagai melegalkan pengkhianatan? Dan kemudian istri diminta menerima pengkhianatan itu dengan berbagai dalih?
Ketika perselingkuhan dikukuhkan ke dalam lembaga perkawinan melalui mekanisme poligami, maka "perselingkuhan" dianggap hilang, tetapi sebenarnya pengkhianatan itu tetap ada. Tetapi, perempuan telah dididik untuk bisa menerima itu.

Kedua, dalam Islam poligami memang dibolehkan dengan syarat bisa berlaku adil. Pertanyaannya sederhana, apakah lelaki benar-benar bisa berlaku adil, setiap waktu dari detik ke detik? Adil lahir dan batin?
Sebenarnya, bila ada kerendahan hati pada kaum lelaki, mereka pasti akan mengaku tidak berani menjamin keadilan. Dan jika tidak berani menjamin, maka tidak akan berani berpoligami karena takut akan murka Allah.

Ketiga, bagi mereka yang ngotot dan mengaku sanggup adil, pertanyaannya, bagaimana mengukur keadilan? Kalau mau berargumentasi lelaki bisa adil, marilah kita mencari indikator untuk mengukur keadilan. Dengan materi? Itu jelas gampang. Tetapi, keadilan yang lebih dalam? Dari hati dan batin seseorang?
Jika tidak mungkin diukur, bagaimana bisa menjamin keadilan? Bagi saya yang awam dengan aturan-aturan dalam agama, saya melihat walaupun tidak melarang, Islam justru menuntut umatnya berpikir dan menganalisis lebih jauh.

D. Kesimpulan

Terlepas dari semua argumentasi yang telah dikemukakan, poligami pada dasarnya pelanggaran terhadap integritas dalam institusi perkawinan, karena institusi perkawinan pada dasarnya dibangun oleh dua orang yang ingin membina kehidupan bersama, yang dimulai dengan niat yang tulus, cinta, dan adanya janji sakral yang seharusnya dihormati.
Ketika orang ketiga datang, apa pun alasannya, janji antara awal tadi telah dikhianati. Sangat disayangkan ketidakjujuran kemudian begitu saja mudah diterima dan "kebohongan" menjadi hilang begitu kata poligami muncul.

Dengan sedikit paparan tadi dapat kita tangkap beberapa poin sehubungan dengan pengaturan poligami, yakni:
1. Adanya kesamaan semangat untuk mengatur poligami agar lebih tertib dan selektif dalam
rangka menghindari penyalahgunaan poligami oleh laki laki yang tidak bertanggung jawab
dan agar lebih melindungi hak hak wanita.
2. Dibanding ketentuan dalam fiqh maka banyak kemajuan dalam pengaturan ini
terutama yang berkaitan dengan campurtangan dan wewenang pengadilan.
3. Ada dua negara muslim yang jelas jelas melarang poligami secara mutlak yakni Tunisia
dan Turki ini tentu bukan hanya sebuah kemajuan dari ketentuan fiqh tapi merupakan
sebuah pemberontakan .

Dengan mencermati berbagai aturan di atas maka tampak ada variasi dalam pengaturan poligami dari yang bersifat tradisional dalam arti tidak banyak beranjak dari ketentuan fiqh selama ini seperti Saudi Arabia, Yaman , Bahrain dan Kuwait. Namun ada selangkah yang lebih maju dengan memperketat dan mengawasi jalannya poligami, tidak melarang sama sekali namun membolehkan dengan syarat-syarat yang cukup ketat. Ini yang kebanyakan ditempuh negara negara muslim . Dan yang paling berani adalah Turki dan Tunisia yang tegas menyatakan bahwa poligami merupakan barang haram bagi pria.

Poligami merupakan suatu hal yang sangat ketat aturannya karena efeknya banyak merugikan pihak wanita dan hal inilah sebagai pelanggaran persamaan hak antara laki laki dan wanita.
Di negara kita Indonesia UU perkawinan nomor 1 tahun 1974 yang memuat aturan seputar poligami dikelompokkkan sebagai negara moderat dalam mengatur poligami yakni membolehkan dengan sejumlah syarat yang cukup berat lebih Lebih PNS atau Polri/ TNI atau Pejabat Negara.

Dengan uraian singkat ini kiranya poligami diperlakukan cukup beragam oleh umat Islam sebagai mana terlihat dalam perundang undangan di atas, namun secara umum ada upaya untuk membatasi dan memperketat terjadinya poligami, agar poligami betul betul mendatangkan maslahat bukan malah sebaliknya. Poligami mungkin menjadi madu atau racun amat bergantung dari kemampuan kita menerjemahkan secara tepat kehendak Tuhan dalam menurunkan syariat ini.