Rabu, 07 November 2012

Bunga Busuk

OLEH:  TRIYANTO TRIWIKROMO
Akhirnya kau tahu riwayat busuk hidupmu dari Maria. Sesaat sebelum meninggal, istri Mayor Prakosa itu membisikkan kata- kata yang tak pernah kau duga. “Aku tak sanggup menyimpan rahasia lagi, Rosa,” kata Maria yang setelah mendesiskan kata – kata  yang sejak dulu terkubur di hati.
Tentu kau kaget dan seperti ada ratusan semut merah menyusup di telingamu.
Kau tak bisa menerima buncahan perasaan perempuan sepuh yang sangat aku hormati itu. Dan rahasia itu sungguh mencengangkan karena kau harus menjadi bunga busuk yang tanggal dari pohon hayat yang makin rapuh.
“Aku bisa saja berdusta dan menyimpan kebohongan ini. Hanya, sekarang tak ada gunanya lagi kusembunyikan lebih lama kagi. Karena itu segeralah ke Plarungan. Semua teka teki hidupmu akan terjawab di desa itu.”
Kau hendak menyangkal ungkapan perasaan yang lebih menyerupai desis ular itu karena yakin Maria adalah perempuan indah yang melahirkanmu. Akan tetapi nyatanya dengan dingin dia mengatakan  kau hanyalah anak yang dipungut dari sebuah desa yang dikepung oleh hutan dan selalu ditutupi oleh kabut tebal . Kau tidak pernah lahir dari rahimnya.
“Ibumu seorang Gerwani. Ayahmu…,” Maria tampak tak sanggup meneruskan penjelasan yang masih menggantung itu .
Dan segalanya memang masih menjadi misteri. Maria tak pernah mengatakan siapa ayahmu karena malaikat lebih cepat mencabut nyawanya . Karena itu kau tiba- tiba harus mencari akar hidupmu di sebuah tempat yang asing dan jauh. Dan Maria hanya memberi dua kata kunci : Plarungan dan Gerwani.
******
Kau kelimpungan saat itu. Tentang Gerwani , kau hanya mengenal samar-samar ungkapan yang menjadi hantu bangsa ini. Dari percakapan para serdadu di rumah Mayor Prakosa, kau hanya tahu mereka  hanyalah perempuan busuk yang menyilet-nyilet tubuh tubuh enam jendral dan satu perwira. Kau bahkan mendengar dari perempuan sepuh sebaya Maria, mereka mencungkil mata orang–orang yang tak berdaya sambil membawakan Tarian Harum Bunga dan menyanyikan lagu “Genjer-genjer”.
Belakangan kau tahu, pada tahun 1963 lagu itu sudah sering disiarkan oleh Radio Republik Indonesia dan Televise Republik Indonesia. Setiap mendengar lagu yang dinyanyikan oleh Bing Slamet di piringan hitam itu kau sangat bergairah untuk mendengarkan dan ada dorongan untuk menirukan:
genjer- genjer
esuk esuk pating keleler
dijejer-jejer
diunting digawa neng pasar[1]
Akan tetapi  kau bukan perempuan bodoh yang begitu saja percaya kepada bisikan perempuan tua yang hendak sekarat. Sebagai perempuan yang memuja otak, kau kemudian keluar masuk perpustakaan dan membolak-balik buku sejarah yang tampak tak pernah dibaca itu. Kau juga tidak henti-henti mencari berbagai kemungkianan jawaban persoalan yang kini membelitmu lewat situs-situs sejarah.
Kau memang mendapatkan buku Penghancuran Gerakan Perempuan atau Pembantaian PKI di Jawa Dan Bali , tetapi sama sekali  tidak kau temui apapun yang  berkait dengan kehidupan ibumu. Kau pun menganggap : sejarah memang tidak memihak pada orang–orang yang kalah. Kau juga yakin sejarah tidak akan menulis kisah perempuan yang ditindas oleh serdadu, dimanapun itu.
Kau dapatkan juga data dan foto-foto, serta film-film dokumenter betapa setelah Oktober 1965 , di sungai-sungai mengapung-apung mayat perempuanan yang dibayonet atau dijerat lehernya. Sungai jadi anyir dan amis. Sungai jadi tempat pembuangan tubuh tubuh membusuk penuh lintah. Beberapa kuburan masal untuk  Gerwani juga sudah digali, tetapi kau juga tetap  tidak menemukan jejak ibumu. Kau tidak menemukan tanda–tanda di tubuh itu. Ya, ada tanda-tanda khusus di leher dan paha kanan ibumu sebagai mana diceritakan Maria kepadamu. Kaupun menduga segala jejak tampaknya sengaja dihapus. Beberapa tubuh memang mirip ibumu , tetapi kaki kanannya telah hilang. Kau menemukan potongan kaki itu di sebuah foto, tetapi sama sekali tidak bertahi lalat.
Karena itu, berhari-hari  setelah Maria meninggal, kau lebih memlih menulis novel tentang percintaan perempuan Jawa dan perempuan peranakan Tionghoa di sebuah kafe yang memungkinkan kau menenggak bir hingga kembung dan merokok terus menerus sampai aroma tubuhmu serupa bau asbak. Kau berusaha melupakan pencarian terhadapa akar hdupmu, tetapi kian kau hilangkan dari ingatan, Maria seperti bangkit dari tidur panjang, menjebol kuburan, dan  melabrakmu. Dan selalu sesudah membuncahkan amarah tak karuan, dia selalu bilang,”Hidupmu tak akan punya makna apapun jika tak sekali saja kau temui ibu kandungmu.”
Akan tetapi memang tidak mudah hidup sebagi pencari tanggung yang tidak memiliki peta, rambu-rambu, atau petunjuk yang tak pasti. Pada saat-saat semacam itu, kau ingin meniru tokoh imajiner Octavio Paz untuk menjadi binatang saja. Kau ingin menjadi satwa yang tidak perlu malam–malam mencari ibu yang rabun, tak perlu berdoa pada Tuhan, atau sekedar memikirkan pada Minggu siang siapa yang akan kau antar ke rumah sakit dan pada Minggu pagi siapa yang akan kau ziarahi ke kuburan. Kau juga menyangka menjadi satwa purba lebih enak karena tidak perlu menutup mata dari kilau lampu atau bias sinar tak keruan mobil–mobil yang melaju dari kegelapan.
Dan untuk menjadi binatang yang merdeka, kau punya kekasih yang sangat memahami keinginan-keinginan liarmu. Kau punya Ehuang yang setiap habis bercinta, bisa mencakar atau mencambuk punggungmu , lalu memeluk, serta memitingmu semalaman.
Kalau sudah begitu kau akan gelagapan. Kau akan berusaha mendekap apapun dan berteriak,”Ibu !Ibu!”
“Sssst…Ibumu di sini , Cintaku. Ibumu di sini ,” bisik kekasihmu dengan lembut.
Seperti biasa pelan-pelan kau seperti terbebas dari mimpi buruk.  Seperti biasa kemudian justru kau akan ganas menjilati lidah Ehuang, mengulum bibir lembut, membelai rambut harum, dan menyusupkan lebih dalam tubuhmu ke rengkuhan perkasa tangan perempuan kencana itu.
Kalau sudah begitu selalu Ehuang memintamu menggigit puting dengan keras hingga daging kenyal itu berdarah, hingga kau merasakan sensasi anyir yang membuatmu ingin melakukan gigitan purba itu berulang-ulang.
“Ibu! Ibu!” kau mendesis lagi.
Tetapi senantiasa tak ada jawaban. Senantiasa Ehuang memintamu menancapkan kuku di punggung lebih dalam ..lebih dalam……hingga kalian tertidur..hingga tengah malam kau sadar betapa Ehuang bukan ibu yang kau cari………..
“Ibumu di keheningan telingaku…,” bisik sesosok tubuh kecil menyerupaimu dalam mimpimu
sebagaimana Bima hendak menemui Dewa Ruci, kau berjingkat–jingkat memasuki labirin telinganya yang sangat luas dan membingungkan.,.
“Apa yang kau lihat sekarang..?”
“Aku melihat pasar yang tidak terlau riuh. Aku melihat sebuah desa berkabut di kaki sebuah gunung.”
 “Itulah tempat kau dilahirkan ..’
 “Apa lagi yang kau lihat?”
“Aku melihat bangunan penuh orang yang mengerang kesakitan.  Tangan dan kaki mereka seperti hendak copot dari tubuh…”
“Itulah masa lalu tempat yang pernah memenjara kehidupan ibumu.”
Lalu kau melihat di bawah pohon beringin seorang perempuan telanjang dengan tubuh penuh tato naga melambaikan tangan kepadamu, Tetapi dia kian menjauh darimu. Kau lihat tahi lalat di paha kanan. Kaupun berteriak,”Ibu! Ibu.”
Tak ada jawaban. Tetapi Ehuang tahu setiap kau mengigau semacam itu, dia akan kian mendekapmu.
“Aku akan meninggalkanmu untuk sementara waktu, Cintaku. Aku akan mencari ibuku,” tiba- tiba kau  mendesiskan kata-kata yang sudah lama ingin kau katakan kepada perempuan indahmu itu.
Tak ada jawaban. Ehuang tidak mendengarkan bisikan itu.
*****
Kau meninggalkan apartemen Ehuang saat dia masih tertidur pulas. Sebelumnya kau melihat bekas cakaranmu di punggungnya yang mulus dan sambil mengecup punggung itu, kau membisikkan  pesan cinta.
Kau bergegas ke pusat kota dan membenamkan dirimu di perpustakaan. Kau acak-acak lagi semua buku tentang Gerwani dan komunisme. Kau membaca apapun yang berkait dengan pembuangan mayat-mayat Gerwani di sungai-sungai. Kau pandang setiap foto yang menggambarkan penggalian kubur masal..
“ Ibu tahu Plarungan?” kau bertanya kepada penjaga perpustakaan yang menurut anggapanmu tahu segala apapun yang tersurat dan tersirat di dalam buku. Perempuan itu menggeleng.
“Tetapi mungkin aku tahu apa makna Plarungan.”
“Ia semacam surga atau hutan gaib?”
Perempuan itu menggeleng lagi.
“Ia semacam tempat pembuangan atau neraka mengerikan ?”
Perempuan itu mengangguk. Kau pun bertanya makna anggukannya itu.
“Plarungan berasal dari kata larung artinya menghanyutkan. Jika sebuah tempat diberi nama Plarungan bukan tidak mungkin kawasan itu pernah digunakan untuk menghanyutkan sesuatu…”
“Menghanyutkan mayat?”
“Bisa saja.”
“Menghanyutkan Gerwani?”
“Kenapa tidak?”
Lalu bersama penjaga perpustakaan itu kaupun mengira-ngira dimana letak daerah itu. Menilik asal–usul kata Plarungan kalian menduga kawasan itu berada di Jawa Tengah. Mungkin tidak jauh dari Semarang. Mungkin tidak jauh dari Pekalongan. Mungkin hanya beberapa kilo meter dari Kendal atau Batang. Tetapi tetap saja pencarian siang itu menghadapi jalan buntu. Kau tetap tidak menemukan kota itu di peta.
Untunglah pada saat hampir putus asa, kau menemukan Kisah  Lima Tapol Perempuan yang ditulis oleh pengarang tak terkenal, Genjer Wangi. Ini jelas nama samaran. Nama yang sangat subversif . Kau tidak peduli pada nama itu. Kau terpaku pada halaman 225.
…….Di kamp mengerikan itu dia hamil. Karena istri sang komandan kasihan pada perempuan tapol cantik ini, begitu lahir bayi itupun diadopsi. Nama bayi Gerwani itu Sekar Arum, bunga yang wangi.
Kau terpekik. Kau langsung mengira kaulah bayi Gerwani itu. Hanya kau tetap saja tidak menemukan nama Plarungan di kawasan manapun. Ketika memutuskan menghentikan pencarian , kau menemukan kawasan yang mirip dan kau berpikir jangan- jangan kini nama itu sudah berubah. Kaupun mulai membaca deskripsi daerah itu.
…Desa itu berada di kaki Gunung Melati yang diapit oleh Gunung Senja di jajaran Pegunungan Kabut………….
Kau mulai merasakan menemukan akarmu. Tetapi  kau juga merasa bakal sulit mencapai kawasan itu . Kau keder begitu sampai halaman 3 buku yang sampulnya sudah hilang itu.
……Desa itu bisa ditempuh selama sekitar tiga jam perjalananan dengan mobil dari arah stasiun Tawang. Banyak tanjakan curam dan tajam, melingkar-lingkar seperti labirin yang menyesatkan. Jika tidak berhati-hati, para pejalan kaki itu akan dimangsa macan tutul. Jurang dan ngarai juga mengancam. Jalanan sepi dan penduduk setempat menyebut seluruh kawasan itu sebagai Kuburan Celeng……
Tetapi akhirnya muncul satu kesimpulan: ada atau tidak ada desa Plarungan , kau kan tetap mencarinya. Kau memutuskan naik kereta api ke Semarang malam itu. Kau pun merasa melakukan pencarian paling suci pada akarmu.
Di peron stasiun Senen, sambil memeluk Ehuang, kaubilang ” Aku akan menemukan desa itu, Cintaku, aku akan menemukan ibuku.”
Ehuang tak percaya kau bisa meninggalkan dia malam itu. Perih di puting yang hampir tanggal masih terasa, juga pelukan, cakaran cinta di punggung, dan gigitan di leher tak bisa dilupakan begitu saja.
Kau mengecup kening Ehuang dan  berkata kau tidak akan lama meninggalkannya. Dengan kiasan asal–asalan kau bilang pada Ehuang, “ Aku tak ingin menjadi bunga busuk, Cintaku, aku harus mencari pohonku, aku harus mencari pohonku, aku harus mencari tangkai indah yang menyegarkanku…”
Ehuang terus menatapmu. Dia ingin  memelukmu sekali lagi dan tak hendak melepaskan hingga fajar, hingga pagi. Mungkin dia tahu perjalanan panjangmu hanya kan menjadi penjelajahan sia– sia. Hanya akan menjadi kisah pencarian cinta yang tidak akan menemukan apa-apa.
“Kau akan segera pulang kepadaku, Cintaku, kau akan segera pulang padaku…”***

[1] Catatan: Genjer-genjer pada pagi buta berhamparan dijejer-jejerkan dan diikat-ikat dibawa ke pasar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tulis komentar anda , untuk menambah dan memperbaiki kualitas blog kami