Jumat, 09 November 2012

Ulang Tahun Priya


Oleh: Dalih Sembiring
Google
PAGI ini Priya masih tertidur di samping kekasihnya.
Putu Sugarda terbangun dan yang dia lihat cuma hitam. Tapi dia tahu di bawah punggungnya masih ada selembut tilam titpis, di sebelah kirinya masih ada dinding yang ia kenali dari anyepnya-sering dia tempeli setengah sadar tiap badanya kepanasan; dan masih ada Priya di sebelah kanannya. Bergeser dia hati-hati supaya Priya tidak terusik.
Lalu bangkit. Meraba-raba untuk menemukan saklar lampu.
Cahaya putih membutakan matanya sebentar biarpun wajahnya tidak langsung menghadap lampu yang tergantung rendah itu. Priya sendiri kelihatannya tidak terganggu. Ia tidak bergerak sedikitpun. Ingin saat itu juga Garda memeluk dan menciuminya, lalu mengajak mandi berdua seperti biasa. Tapi tidak hari ini, sebab Priya patut tidur lebih lama lagi, terlebih-lebih di hari ini, di hari ulang tahunnya. Maka melangkah ia, sedikit terhuyung akibat pening, selalu begini setiap pagi, ke ruang sebelah, di kamar mereka ada dua ruangan, satu-satunya kamar kos di sini yang punya dua ruangan. Menguap lebar, diambilnya gayung berisi peralatan mandi dari atas lemari, kemudian handuk, kemudian keluar.
Sembari mandi ia mengingat (atau barang kali teringat) kilas-kilas peristiwa yang telah mereka jalani selama setahun terakhir, walau tak banyak yang istimewa. Sudah hampir dua tahun mereka pacaran – hampir dua tahunkah? Rasanya terlalu cepat, waktu berjalan terlalu terburu-buru, dan tak banyak yang istimewa-dan sudah hampir setahun mereka tinggal di sini. Mestikah lagi-lagi dia mengingat (atau barangkali teringat) awal pertemuan mereka? Di bar itu, tempat Priya bekerja sampai sekarang. Kini ia tak lagi bergenit-genit dengan pengunjung lelaki, pastinya-semestinya. Priya tak berlaku genit padanya malam itu. Ia cuma senyum manis- senyum yang tidak bisa hilang dari rekaman memorinya sampai sekarang-ketika mereka bersalaman, diperkenalkan oleh temannya semasa kuliah, si Jafar, Jafar Mata Binal, Priya memanggilnya.
Apa kabarnya Jafar?
Mereka tingggal di sini sudah hampir setahun. Menemukan tempat ini berbekal informasi dari si Jafar yang dulu juga tinggal di sini. Dia bilang kos-kosan yang ditempatinya bebas. Artinya, sang induk semang tidak pernah ambil pusing dengan tingkah dan perilaku mereka yang tinggal di situ, selama sewa dibayar. Cocok buat kalian berdua, anjur si Jafar. Konon Jafar sendiri pernah memasukkan dua ayam kampus sekaligus, berkehendak sampai pagi, mandi, lalu mengajak keduanya sarapan di warung depan gang. Tertarik-apalagi masa sewa di rumah kontrakannya hampir habis, ditambah para tetangga tidak suka melihat Priya sering berkunjung dan kadang menginap-ia datang menyewa pada Bu Dar, janda veteran pendiam bertemankan seekor anjing kampung hitam besar yang tak pernah menggonggong. Setelah barang-barang diboyong serta disusun, Priya menyusul datang empat hari kemudian. Dan ucapan Jafar terbukti. Bu Dar tidak pernah menegur atau menyatakan keberatan bahwasannya mereka tinggal berdua dalam satu kamar. Sampai hari ini.
Ah, dia ingat SMS terakhir Jafar! Katanya dia di Semarang,”Sudah jadi simpanan tante-tante girang,” tulisnya. Dia pasti bercanda. Mahasiswa gila seks itu. Dia pun tidak bisa tidak curiga kalau Priya pernah tidur dengannya, dan dia sakit hati tiap kali memikirkan hal ini. Dia tidak tega kalau harus bertanya langsung. Dan tiap kali memikirkannya, ia tahu ini pengorbanan yang harus dia buat. Masa lalu harus tinggal sebagi masa lalu. Priya dan dia sudah dua tahun pacaran, mereka berusaha saling setia, sehingga dia sudah bisa mengatakan”aku cinta kamu”tanpa merasa membohongi diri sendiri.
Sepuluh menit dia mandi, ia lantas berkaca pada cermin di bawah-kamar mereka di lantai dua, lantai teratas. Dan ia berkaca tidak sekedar memeriksa apakah masih ada kotoran di sudut matanya, terlihat segar atau tidak-orang berkulit gelap susah nampak segar menurutnya. Akhir-akhir ini ia punya kebiasaan berlama-lama di situ, termenung memperhatikan keadaan sekelilingnya di dalam cermin yang membuatnya punya lingkup pandang tiga ratus enampuluh derajat. Bisa melihat semuanya saling terkait. Dinding-dinding yang kusam, sinar pagi yang membias di jendela-jendela, tong-tong dan aroma sampah, semuanya terhubung satu sama lain. Selebihnya tak ada yang lalu atau yang akan datang, melainkan sekarang. Dan dalam ringkasan detik semuanya jadi masuk akal, “Tak ada yang perlu ditakuti. Semuanya sudah pernah dilakukan.”
Beberapa penghuni kos yang sudah bangun menyalakan radio atau musik di computer. Najib lantas Budi baru saja lewat, menegurnya sambil lalu.
“Ngaca terus, nambah cakep juga nggak,” ejek Budi melengkapi tegurannya.
Ia tertawa. Dan kali ini Priya yang muncul di belakangnya.
“Lah, tumben mandi sendiri, Gar. Biasanya air di bak sampai habis,” sambung Budi, terkekeh-kekeh keras seperti ingin membangunkan seisi kos sebelum menutup kamar mandi.
“Mandi sendiri gak ngajak-ngajak,”ucap Priya dekat telinga Garda.
“Selamat ulang tahun, sayang.”
Priya memeluknya dari belakang, dalam cermin mereka bertatapan mata,”Aku nggak mau hadiah apa–apa, aku nggak kepingin jalan kemana-mana, aku mau sehabis kerja kamu langsung pulang. Nanti malam jemput aku, terus kita balik ke sini dan nggak keluar kamar sampai besuk pagi.”
“Terus di mana letak perayaannya?”
“Di atas kasur,” tanggap Priya berbisik. Diambilnya gayung di tangan Garda, handuk di bahunya, kemudian mengecup pipinya dan berjalan ke kamr mandi, meninggalkan kekasihnya tersenyum-senyum.
GARDA tidak membangunkannya. Tapi dia terbangun dan tersenyum, dia ingat ini hari ulang tahunnya. Akan ada yang berbeda hari ini. Dia berharap ada yang berbeda hari ini, apa pun itu. Hadiahkah? Dia tidak butuh hadiah, tidak harus hadiah. Apa sajalah, pikirnya. Dia harap Tuhan memberikan sesuatu yang berbeda. Aih, sudah lama dia tidak membawa-bawa Tuhan ke dalam pikirannya, apalagi pagi-pagi begini.
Priyana Juli Stefani bangkit dan memakai kaos putih serta celana pendek birunya. Ke luar dari kamar, wajah ibunya melintas sembari ia menuruni tangga. Ia ingat Mami sering melakukan hal-hal aneh dan menyenangkan untuk merayakan ulang tahunnya. Di malam hari, hampir selalu di malam hari, sejak Mami harus bekerja sampai petang. Mami pernah mendandaninya dengan potongan-potongan kertas kilat emas, lalu mereka berlari-lari dan menari-nari di lapangan bulu tangkis samping masjid pada jam sembilan malam, dan para tetangga yang terheran-heran berdatangan, namun akhirnya ikut menyanyikan lagu selamat ulang tahun untuknya. Atau berdua saja menyanyikan lagu”panjang umurnya” ala seriosa di rumah, ketika listrik mati dan Mami menyalakan satu lilin putih-ia selalu tertawa mengenang yang satu ini. Atau menantangnya makan bakso tiga mangkok penuh. Mami doyan makan, jadi gampang melahap seluruh baksonya, sedangkan dia cuma sanggup menghabiskan dua mangkok.
Apa kabarnya Mami di Jakarta? Dia rindu ibunya. Tiap hari dia merindukan ibunya.

PUKUL
sembilan Garda sampai di McDonald’s, langsung menuju dapur menuruti jadwal yang tertulis. Sudah lama dia menyadari bahwa jadwal kerja menuruti instruksi tertinggi di sini. Selain itu, ada pula suara-suara tinggi kasir yang meneriakkan pesanan, kemudian pemeriksa makanan. Dia tinggal menunggu, sambil terus bekerja tentunya, tiap sepuluh menit, tiap ia berada di dapur, mendengar perintah,”Ayam seratus lagi. Frenc fries lagi. Patties-nya lagi.” Lagi dan lagi. Dan kini ia sedang memasukkan potongan- potongan besar yam ke dalam tepung. Ia remas-remas , ia bolak–balik, ia padat-padatkan sebelum seorang rekan kerja yang mendapatkan putaran di penggorengan mencelupkan potongan–potongan itu sekalian ke banyak-banyak ke dalam minyak panas. Lebih banyak, lebih cepat, lebih baik, supaya semua orang cinta McDonald’s . Namun seperti semua orang , ia tidak pernah bercita cita kerja di restoran cepat saji.
Dia kepingin jadi fotografer, bekerja di surat kabar, yang punya nama besar sekalian. Sebab menjadi fotografer bisa jalan ke sana kemari karena tuntutan kerja. Dan toh tuntutan kerja tidak akan terasa sebagai sebuah rutinitas. Waktu yang berlalu bisa ia abaikan dengan derap kakinya yang melangkah bebas , tidak terkungkung oleh dinding–dinding yang dibangun untuk menandai wilayah kekuasaan orang-orang yang selalu lebih. Hebatnya seorang fotografer, seringkali dialah yang punya kuasa: siapa yang akan ia jepret, kapan saja, di mana saja, bagaimana sudut pengambilannya. Tapi dia tidak berani mengungkapkan cita-citanya ke sembarang orang ; kamera SLR saja dia tidak punya. Duit untuk membelinya tidak pernah terkumpul cukup. Dia tidak mau ditertawakan lagi. Seorang teman kuliahnya nyeletuk,”Emangnya kamu jadi fotografer pake kamera saku?” Hahahaha. Tawa temannya itu , yang saat itu sebenarnya tidak ingin ia sebut teman lagi, membuat dia sakit hati. Diam-diam dia masih berharap suatu hari nanti bisa membeli kamera SLR yang diidam-idamkannya, lengkap dengan telelens sepanjang lengan. Kekasihnya tahu itu. Garda memberi tahu beberapa rahasia tentang dirinya pada Priya. Tidak semua. Tidak mungkin semua.
Sebab Priya sendiri sepertinya tidak sepenuhnya membuka diri padanya. Ia sering merasa ada hal-hal yang tidak ingin diungkapkan gadisnya itu. Dia sendiri tidak ingin mendesak. Semua orang semestinya punya cerita-cerita yang harus disimpannya sendiri. Atau mungkin Priya menganggap tidak ada yang istimewa darinya untuk diceritakan, itu pun sering ia rasakan. Akan tetapi dari hubungannya dengan beberapa perempuan sebelum Priya, ia justru tak tahan ketika ada yang mulai bercerita banyak tentang masa lalu mereka, keluarga mereka , kisah-kisah cinta mereka terdahulu, harapan-harapan mereka. Semua itu membuatnya gugup. Namun semua itu tidak kentara pada Priya. Tidak pernah didapatinya gadis yang sebelum tidur hanya mengatakan ,”Selamat tidur, sayang”- atau.”Goodnight” – atau,”Tidur yang nyenyak ya.” lantas langsung tidur setelah berpelukan dan berciuman di bibir. Lalu siang itu ketika mereka duduk-duduk di tepi pantai, mereka benar-benar cuma duduk membisu memandangi laut dan langit, dan itu membuatnya nyaman. Hanya Priya yang hemat kata-kata, namun bisa mempengaruhinya, seperti secicip heroin yang membuat siapapun menagih lebih.
Ia mematut-matut diri di depan cermin persegi dekat jendela, merapat-rapatkan bibirnya buat meratakan lipstick. Ia rasa dirinya cantik . Bukan cantik yang biasa ada di tivi memang. Apa istilahnya? Cantik mainstream? Nah, bukan cantik mainstream yang ia lihat di dalam cermin itu. Sebut saja cantik unik; kecantikan yang tidak kau lihat sekali lirik. Sesungguhnya itu kata-kata Garda untuknya. Ia mencintai dia bukan karena apa yang terlihat, melainkan untuk yang tak terlihat, yang belum tentu dapat dilihat orang lain setelah sekali, dua kali, atau bahkan seratus kali menatap. Dan untuk kesekian kalinya kata-kata kekasihnya membuatnya mabuk.
Dimasukkannya gincunya ke dalam tas sandang yang ia masukkan lagi ke dalam tas karton merah muda. Dia ingat, pertama kali coba-coba pakai lipstick diomeli ibunya. “Siapa yang ngajari genit kayak begini? Lihat, sampai belepotan. Kamu jadi kaya badut, iya?” Tapi cuma itu yang dilakukan ibunya. Dia cuma bicara, dan tak ada nada marah dalam kata-katanya. Ia terus bicara sambil berdiri di sampingnya, dengan tempo ucapan yang cepat. Kalau dipikir-pikir ia heran juga; ibunya tidak pernah marah, apalagi sampai memukulnya. Paling-paling hanya bisa ngomel. Mami bahkan tidak mengambil lipstick itu dari tangannya. Ia sendiri yang melemparkan lipstick itu ke lantai sampai batangnya patah. Pagi itu dia ngambek karena tidak diizinkan terlihat cantik. Mami curang! Maminya sendiri cantik seperti bintang film Lidya Kandou meskipun tanpa tahi lalat di pipi. Sayangnya, menginjak usia tiga puluhan mami mulai gemuk. Ia tidak punya waktu untuk mengurusi–atau pun menguruskan-badannya. Sejak Bapak meninggal, waktu itu umurnya delapan, Mami mulai menjahit di rumah seorang pemilik butik. Ia lupa namanya. Tante Tiara? Tina? Ataukah Tante Titik, tante-tante menor yang suka sekali tertawa itu? Ah, pokoknya sebuah nama berawalan Ti-.
Bersama ayunan yang damba bebas ia berjalan keluar dari gang sempit diapit dinding-dinding pesing. Hingga akhirnya di pinggir jalan ia berdiri, wajah putihnya terus ditolehkan ke kanan, menunggui bus. Ujung rambut ikalnya dipuntir-puntir angin. Rok hitam selutut yang menampakkan lekuk kurus pahanya juga turut berkibar. Cardigan hijau tipis melapisi kemeja seragam bergaris-garis hitam-oranye pupus ia kenakan. Asap kendaraan untuk beberapa kali membuatnya menutupi hidung dan mulut dengan telapak tangan kanan. Tangan kirinya menjinjing tas karton merah jambu. Andai ia menghitung, tutjuh menit berlalu sejak ia mulai berdiri di situ sampai sebuah bus warna biru membawanya pergi.
Bus yang sama pergi di dekat pertigaan, di samping sebuah bangunan yang cuma memiliki satu pintu. Tepat di atas itu terdapat plang bertuliskan Seven Bar & Resto. Ia turun, kemudian mengeluarkan topi warna hitam bertuliskan angka 7 di bagian depan. Dikenakannya selagi ia melewati pintu masuk yang terbuka lebar-lebar itu.
Ia masuk ke situ gundah. Diam-diam dia berharap hari ini memberi kesan yang berbeda. Apa tidak ada yang tahu? Ayolah, apa tidak ada yang ingat? Hani, teman mengobrolnya itu barangkali? Mungkin diam-diam rekan-rekan kerjanya telah menyiapkan kejutan kecil. Tapi kiranya hari ini dia tidak harus bekerja. Garda tidak harus bekerja. Mereka bisa jalan–jalan. Ia tahu meskipun telah berkali-kali dia melarangnya membeli kado, Garda pasti akan tetap membelikan sesuatu. Lantas kiranya berdua mereka bisa merayakan ulang tahunnya di tempat istimewa. Di restoran Korea itu! Kiranya mereka punya banyak uang, mereka bisa makan di restoran korea Goryeo. Ia kepingin sekali makan di sana. Kiranya mereka punya banyak uang. Aih, kiranya mereka jutawan, mereka bisa beli sebuah rumah mungil bercat putih, dengan pekarangan hijau dan sebuah kolam ikan. Dan ia jadi seorang ibu rumah tangga dengan sepasang anak yang sehat dan manis. Sekeluarga mereka bisa sering-sering liburan. Ke Bali, ia ingin sekali ke Bali.
Secuil saja berkhayal indah, berlembar-lembar muluk-muluk lainnya menyusul bertubi-tubi. Sial. Yang harus ia kerjakan sekarang tidak sedemikian indah. Ia mesti mengelap meja-meja, mengangkati asbak, mengelapi abu rokok yang tercecer. Dulu dia tidak suka bau rokok. Sekarang biasa saja, sebab kadang dia merokok. Rokok Mild. Tapi dari dulu dia benci tumpukan abu rokok dalam asbak. Baunya pahit macam kincit. Dia benci pekerjaan ini. Pasti lebih enak jadi orang kaya. Garda jauh dari kaya, memang, tapi dia tidak akan mau berpisah darinya untuk orang lain, sekaya apapun. Dia tidak menyesal, dia terus saja mengelapi dan membereskan meja-meja. Cahaya matahari menembus kaca-kaca persegi , melompat membentuk cetakan-cetakan putih yang berbaur dengan dinding, lantai, meja, botol-botol, serta beberapa pengunjung. Bar & resto ini masih berupa restoran. Jam sembialn malam nanti barulah akan beralih jadi bar, sedangkan menurut jadwal, hari ini ia boleh pulang tepat jam setengah tujuh.

TADINYA
dia tidak meminta izin Liza untuk mencarikan hadiah. Seminggu yang lalu ia tanyakan padanya apa yang pantas ia berikan buat Priya di hari istimewa nanti, sebab seingatnya ia belum pernah memberikan hadiah istimewa apa pun untuknya. Tahu-tahu Liza menyarankan supaya ia mempercayakan uang yang sudah dia kumpulkan ke tangannya, biar dia saja yang mencarikan satu hadiah terbaik untuk seorang gadis terbaik yang telah memenangkan teman baiknya itu. “Kebanyakan laki-laki nggak punya selera memilih hadiah,” katanya,”apalagi kamu.”
Liza sahabat yang mengerti. Dia tidak perlu mengatakan akan menambah kan sekian-sekian rupiah untuk kado itu. Mereka tidak perlu membahasnya, sebab Garda mungkin bakal tersinggung, walau juga pastinya mafhum. Kado istimewa kadang berarti mahal. Buat dia rasanya pasti salah, tapi Liza dapat mendesak bahwa tidak ada salahnya. Toh dia dan Priya langsung akrab segera setelah mereka diperkenalkan. Priya sudah jadi sahabatnya juga. Tapi mereka tidak merasa perlu membahas hal itu. Lewat SMS Liza bilang ia sudah belikan sepatu. Sore ini sehabis kerja Garda akan langsung mengambilnya di rumah kontrakan teman baiknya yang tinggi langsing dan berambut lurus panjang itu.
Ia mengambil motornya di parkiran di samping. Aneh juga mendapati masjid di tengah deretan toko-toko dan supermarket seperti itu. Dia bukan lagi orang yang religius, tapi dia pernah tahu bahwa sebaik-baik tempat adalah tempat ibadah dan yang terburuk adalah pasar. Kini masjid di tengah-tengah daerah perbelanjaan adalah yang dilihatnya hampir tiap hari. Haruskah dia Tanya: Kenapa? Pada siapa? Apakah ada yang mau mendengar pertanyaan dari seseorang seperti dia? Seorang karyawan restoran cepat saji. Secuil pion milik raja-raja gemuk yang bersembunyi di balik benteng-benteng tingginya. Masih adakah yang mau berhenti dan mendengar barang sejenak? Rasanya tidak lagi. Semua orang sibuk meluncur dan menyerang. Tapi dia sudah diabaikan, apa boleh buat, tinggal menunggu waktu dimakan dan ditaruh di luar papan.
Kota ini kini adalah lapis demi lapis bangunan, pohon-pohon berdebu yang berjarak-jarak, tiang-tiang lampu jalan, tiang-tiang dengan lampu-lampu warna–warni yang disusun menjadi rupa-rupa, tiang-tiang dengan plang-plang iklan yang berlomba berteriak dan saling menutupi. Hingga dia tidak lagi yakin, apakah semburat merah matahari yang tenggelam itu berada di balik sepotong gunung jauh di sana; ataukah di balik gedung-gedung, bangunan-bangunan ;tak lagi di balik daun-daun rimbun sehingga larik-lariknya seperti jarum-jarum sepanjang lembing. Yang pasti matahari tidak terbenam ke dalam sungai. Ia sudah terlalu keruh dan terjepit. Garda melewati sungai itu. Melewati rel kereta api tua yang tergantung lurus mirip sepasang lengan kurus.
Liza sudah belikan sepatu, pikirnya. Dia senang, juga cemas. Sepatu warna apa? Bagaimana modelnya? Dia betul-betul berharap Priya akan menyukai hadiahnya. Jika tidak…………..Semestinya tidak masalah, Priya jarang mengeluh. Tapi senja ini, di atas motornya, dirasakannya dentuman-dentuman kecil di dalam dadanya. Dentuman-dentuman yang ia kenal. Seolah-olah telinganya begitu dekat dengan jantung dan ia dapat menandai tiap degup, kemudian menghitungnya satu persatu. Perasaan yang sering melandanya bila ia tidak berada di dekat Priya, juga tiap ia merasa khawatir tidak bisa membuatnya bahagia. Andai dia bisa bilang bahwa tidak pernah merasakan perasaan ini terhadap kekasih-kekaasihnya terdahulu. Tersenyum ia menyaadari egonya sebagai laki-laki, bahwa ia tidak pernah mau terbawa suasana sentimentil. Namun yang mesti ia akui adalah, bahwa kata cinta-yang jarang keluar dari mulutnya-untuk Priya bukan lagi sekedar ucapan.
Adzan maghrib terdengar ramai. Terus ia mengendarai motornya sembari suara itu berganti-ganti, bercampur dengan gabungan hentak drum, bass dan melodi yang berusaha saling mengisi tapi kadang terhenti–henti. Lantas alunan keyboard, suara perempuan menyanyi. Vokalis itu pasti masih SMU, pikirnya, menoleh pada sekelompok anak muda di atasa panggung rendah di luar sebuah kafe bercat kusam. Sepertinya mereka latihan untuk tampil nanti malam. Ada spanduk panjang di pagar, barangkali mengumumkan penampilan band pemula itu. Ia berusaha membaca sambil lalu. Hanya saja ia tidak menyadari bahwa seorang wanita tua yang tengah menyeberang telah berada tepat di depan motornya!
DIDAPATINYA kos-kosan sepi . Bu Dar duduk di beranda mengelus-elus anjing kampung hitamnya yang menyandarkan kepala di pahanya. Keduanya terus memandanginya sejak ia nampak, melintas, hingga hilang di balik pintu. Motor Garda tidak ada di depan
Jam setengah tujuh tadi ia menunggui Garda di samping gedung Seven Bar & Resto, hampir dua jam , dan ia tidak kunjung muncul. Lima SMS –nya tak sampai-sampai, dan ia pun menelepon sia-sia dari wartel berulang kali. Sampai akhirnya ia minta diantarkan temannya sesama karyawan yang pulang jam delapan, rumahnya cuma beberapa kilometer lebih jauh ke utara, karena Garda tidak kunjung muncul.
Tidak ada suara yang bisa mengalahkan amuk pikirannya. Ia telah mematikan lampu dan hanya menyalakan sebatang lilin putih di meja. Ia duduk meringkuk , tangannya memeluk lutut, wajahnya seolah–olah hendak membenam diantara pahanya yang merapat. Dia sendirian saja di kamar itu, padahal jarum jam terus bergulir mendekati puncak malam.
KITA menemui kejadian-kejadian yang berlangsung cepat namun dapat menjabarkannya panjang lebar. Berapa lama yang dibutuhkan untuk menabrak wanita tua itu? Sedetik? Dua? Namun orang-orang yang mulai berkumpul tak habis-habisnya bercerita satu sama lain. Wanita itu menyeberang tak lihat kanan-kiri, setengah berlari dan matanya terus memandang ke bawah seperti mencari-cari sesuatu. Motor hitam itu, yang menabraknya, melaju dengan kecepatan tinggi, sangat cepat, wanita itu terlempar sehabis dadanya menghantam kap lampu. Kepalanya menghantam trotoar , ujar yang lain meluap-luap, sedangkan motor itu kehilangan keseimbangan dan jatuh. Ada teriakan dari jauh, sebuah teriakan memanggil nam Tuhan. Orang-orang bersegera lari mendekati dan memeriksa keadaan si wanita tua. Seseorang mengenalinya, dia warga sekitar sini. Makin banyak yang datang. Ada yang menggiring motor ke pinggir agar tidak menghalangi lalu lintas yang melirik keramaian sepintas. Tubuh wanita itu, yang berbalut daster coklat-hitam itu, terus dikerumuni seperti sisa permen yang dirubung semut. Apakah dia masih hidup ? Dia tidak bergerak.
SEBENTAR lagi tengah malam, ia tidak ingin hari ini terlewat tanpa sebuah perayaan. Ia mulai menyanyi dalam hati. Dibayangkannya Mami, Garda dan dirinya berlari-lari di sekeliling sebuah lilin putih sebesar tugu, tertawa, menyanyi bersama. “ Panjang umurnya…..”

GARDA tidak ingin melihat. Mereka membiarkannya duduk meringkuk di tepi trotoar, tangannya memeluk lutut , wajahnya seolah-olah membenam di antara pahanya yang merapat. Ia ingin lari dari sini, lari sekencang-kencangnya dan bersembunyi hingga besuk pagi ia bangun dan ternyata telah berada di sebelah kekasihnya . Hanya tiba-tiba seorang lelaki menendang rusuknya hingga ia terjungkal ke samping. Laki-laki itu berteriak marah tapi ia tidak mendengar apa-apa. Hantaman demi hantaman mendarat di tubuh dan kepalanya. Keramaian itu mengerubutinya, menghajar dan meneriakinya. Untuk waktu yang lama baginya semua itu tidak masuk akal. Dia tidak peduli apa-apa selain ulang tahun Priya. Ia ingin memakaikan sepasang sepatu baru di kaki kekasihnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tulis komentar anda , untuk menambah dan memperbaiki kualitas blog kami