Oleh:Riki Dhamparan Putra
Semua ini hanya terjadi di sebuah kota bernama Suf. Terletak beberapa tingkat di atas dunia yang kita huni sekarang.Namun
kalau ditanya persisnya di mana kota Suf itu, saya juga tak tahu.
Cerita tentang kota ini saya dengar dari Haji Kamungkin. Ia katanya
mendapat berkah untuk berkunjung ke kota tersebut selepas menunaikan
ibadah haji di Makkah.
Kota itu katanya adalah sebuah kota transit. Ke sinilah segala keluhan
hati dan segala munajat disampaikan terlebih dulu sebelum disampaikan
kepada Tuhan.
Banyak hal yang ia lihat di sana. Ia bertemu kuburan Nabi Adam, kereta Nabi Sulaiman, gada Nabi Daud, bahkan sampai memegang tongkat Nabi Musa. Ckckck….ceritanya membuat kami yang mendengar terlongo – longo. Namun kejadian yang paling menarik ia temui di Kota Suf itu katanya adalah saat ia menghadiri persidangan.
Begitulah katanya, di suatu senja yang indah , Tuhan datang untuk
bersaksi tentang sebuah kejadian tak penting yang baru saja terjadi di
dunia. Orang-orang di ambang pintu lalu bertanya: Engkau ke mana saja?
Gedung itu adalah sebuah gedung mahkamah dengan pelemahan yang sangat luas . Di bagian bawah di atas pondasi
gedung yang empat persegi, ada sebuah laguna yang permukaannya tertutup
oleh teratai. Dan ikan-ikan berenang di dalamnya. Di tengah laguna itu
memancar Air Keselamatan, dikelilingi oleh lampu-lampu bundar telur. Konon,
dulu jumlahnya genap. Namun salah satu dari lampu-lampu itu tak pernah
lagi menyala, karena seorang pemuda bernama Aladin telah mencuri apinya.
Maka orang-orang di Kota Suf menamai lampu itu cahaya yang ganjil dan
tak pernah menceritakan asal-usulnya.
Ke atas, dari dasar kolam itu ada tujuh pasang tangga yang bagian
ujungnya mengerucut dan berakhir pada sebidang lantai hampa. Ada juga
yang mengatakan bahwa jumlah tangga itu sebenarnya sembilan, yang tiga
lagi hanya bisa dilihat dengan sepatah kata rahasia, sepotong salam dan orang-orang di kota Suf saja yang mengetahuinya.
Di bagian pusar lantai itu ada lagi sebuah lubang kecil terlindung tirai
yang terbuat dari belahan rambut dibelah tujuh, yang bergerak halus dan
direnda empat persegi menyerupai kubus yang sederhana. Konon pula, setiap bidang kubus sebenarnya dijaga oleh seorang penjaga yang sangat suci dan tinggi kedudukannya di mata Tuhan.
Penjaga selatan bernama Baginda Ali, zikirnya adalah ilmu, sangat dalam
ilmu pengetahuannya, memiliki kemampuan mengundang badai dan sangat
saleh. Penjaga utara adalah Baginda Umar, zikirnya adalah senjata Tuhan,
sangat bijaksana, memiliki pengetahuan politik yang luar biasa, tegas
dan berani mengambil keputusan atas suatu perkara, sehingga Tuhan pun
pernah menurunkan ayat kepada Nabi Muhammad SAW berkaitan dengan Baginda
Umar.
Penjaga timur adalah Baginda Usman, zikirnya adalah air mata, memahami
seluk beluk hati, penuh cinta dan lebih suka menangis kepada Tuhan
ketimbang harus mengambil keputusan untuk memerangi musuh-musuhnya.
Penjaga barat adalah Penghulu Abu Bakar, salehnya tak ketulungan,
bijaksana dan lembut hati, memiliki piala-piala yang kelak di Padang
Mahsyar akan diberikan kepada orang-orang dermawan untuk membalasi
ketulusan hati mereka selama hidup di dunia.
Hanya saja orang-orang di kota Suf merahasiakan bagaimana cara menyapa
dan menemui keempat penjaga itu. Kecuali pada mereka yang hancur luluh
karena rindu.
Keseluruhan bangunan gedung itu dikokohkan oleh sebuah tiang bernama
Tiang Lurus. Dan lekuk-lekuk atap, serta ornament lembeknya dipapah oleh
sebentuk tiang bernama Tiang Bungkuk. Jadi gedung itu dipapah oleh dua
jenis tiang yang saling menyangga, yang lurus dan yang bungkuk. Konon pula, bayangan dari tiang ini pernah jatuh di bumi, lalu tumbuh menjadi sebatang pohon bernama Batang Bodi.
Dari pohon inilah konon,
ninik orang Minangkabau, Sri Maharaja Diraja membuat tiang istananya.
Bahkan menjadikan seluruh kebijakan alamnya dari dua tiang ini, yang
lurus dan yang bungkuk yang saling menyangga. Orang-orang di kota Suf
juga tidak menceritakan dari apa tiang ini dibuat.
Dan sekarang Tuhan telah masuk ke dalam gedung itu. Naik dari teduh air,
melewati tujuh pasang tangga sekaligus dan masuk dari lobang kecil yang
terlindung tirai. Tuhan berjalan pelan melewati permadani yang
direntang lurus ke arah Sang Hakim Ketua yang didampingi empat hakim
dari majelis hukum Kota Suf.
Tempat ini sendiri, kalau dilihat dari luar akan tampak seperti menara
yang sangat senyap, di mana air tidak beriak, angin tidak berhembus dan
segala tulisan adalah air tinta yang melahirkan segala huruf. Dan hari
ini di sini, Tuhan datang sebagai saksi.
Hakim mulai membacakan perkaranya dengan tetap berdiri, sehingga seluruh
bulunya dari ujung kaki hingga ke ubun dapat dilihat. Bagian bawah
tubuhnya tak akan bisa berdusta karena tak ada yang menghalangi
pandangan melihatnya. Selanjutnya dia meminta pada seorang hakim penanya
untuk menanyai saksi.
Hakim penanya itu ketika di dunia adalah seorang pokrol bambu yang sangat jujur dan satria di zaman penjajahan Belanda di Indonesia.
Ia ditembak oleh orang kampungnya sendiri saat membela seorang janda
yang diperkosa pejabat demang di masa itu. Kejujurannya itu telah
membuat martabatnya bahkan sampai ke Kota Suf ini begitu terpuji.
Tuhan mempekerjakannya di pengadilan Kota Suf sebagai hakim bergelar
Penanya Yang terpercaya (selanjutnya disebut hakim penanya saja dan
penyebutannya ditulis huruf kecil).
“Yang Maha Mengetahui, pada hari ini Anda adalah seorang saksi penting
dalam perkara Sutan Fulan karena tiada seorang pun manusia yang bersedia
menjadi saksi dalam perkara ini. Bersediakah Anda memberi kesaksian
dengan sebenarnya?” tanya hakim penanya membuka sidang itu.
“Mengatakan yang benar dan menelan pahitnya adalah sifatKu.”
“Baiklah. Apakah anda mengenal sutan Fulan?”
“Ya, tentu saja,” jawab Tuhan yang kini duduk di kursi saksi ( selanjutnya disebut saksi saja).
“Anda tahu di mana kampungnya dan di mana dia mencari penghidupan?”
“Dia berasal dari sebuah teratak di selatan negeri Bayang. Semenjak
mudanya telah ikut perkumpulan Tarekat Syatariah. Namun otaknya agak
lambat. Pengajian-pengajian yang diberikan gurunya hanya ia mengerti
sekitar satu persen saja. Karena itu gurunya menyuruhnya merantau dulu.
Dan ia mematuhi, sampai tiga belas tahun ia berjualan nasi di Kotilagin.”
“Nasi apa?”
“Tentu saja nasi Padang. Selengkapnya di kaca rombongnya tertulis Nasi Padang Lemang Pesisir.”
“Baiklah. Selama berjualan itu apa dia termasuk orang yang jujur?”
“Menurut catatan Raqib dan Atid , tak ada sekalipun dia melakukan
kecurangan. Dia berjualan sebagaimana mestinya. Di antara kedai nasi
Padang yang jumlahnya ribuan itu, hanya Sutan Fulan ini saja yang masih
berpegang teguh pada prinsip jual beli sosialisme ala kedai nasi
Padang.”
“Berapa lama dia telah berjualan dan apakah aman-aman saja?”
“Ada tiga belas tahun. Dan soal keamanan, itu terganrtung pada kerutinannya membayar uang keamanan.”
“ Kepada siapa ia membayar uang keamanan?”
“Dulu ke sebuah organisasi yang dikelola oleh tentara. Tapi setelah
reformasi, segala pungutan di Kotilagin diambil-alih oleh lembaga adat
setempat. Jadi belakangan dia membayar kepada lembaga adat.”
“Baiklah. Apakah Anda tahu bahwa dia telah kehilangan jari kelingkingnya?”
“Saya tahu dan melihat persis peristiwanya. Karena tak ada yang luput
dari pengamatan saya,”sesaat saksi terdiam. Lalu melanjutkan
kesaksiannya.
“Malam itu, orang-orang di Kotilagin dibangunkan oleh sebuah mimpi yang
sangat buruk. Api tiba-tiba ada di mana-mana. Kotilagin bergetar,
hingar-bingar musik berganti jadi teriakan kesakitan. Padahal sedetik
sebelum itu mereka baru saja bersenang-senang,”tutur saksi kemudian. Ia
menghentikan pembicaraannya dan batuk-batuk kecil.
“Sutan Fulan baru saja menyelesaikan doa malamnya ketika itu. Di sebuah
mushalla yang tak jauh dari tempat terjadinya ledakan, Namun getaran
yang hebat akibat bom telah membuat satu palang kayu di mushalla lepas
dan jatuh menimpa jari kelingkingnya. Ia mengaduh?”
“Apa yang kemudian ia lakukan?”
“Ia berlari ke puskesmas yang tak jauh dari situ. Namun petugas Puskesmas mengabaikannya, karena sibuk mengurus korban ledakan.”
“Sebagaimana anda ketahui, sekarang ini Sutan Fulan menuntut petugas
rumah sakit, karena pelayan medis rumah sakit tidak melayaninya pada
saat ia meminta pengobatan ke sana. Apa Anda juga tahu kejadiannya yang
sebenarnya?”hakim bertanya setelah tadi menarik nafas panjang.
“Ya. Karena petugas Puskesmas tidak melayaninya, Sutan Fulan kembali ke rumah kontrakannya.
Namun jari kelingkingnya makin bertambah sakit. Esoknya dia pergi ke
rumah sakit pemerintah di kota propinsi. Namun tak seorang pun petugas
rumah sakit melayaninya.”
“Apakah sebabnya?” Tanya hakim penanya.
“Seorang perawat mengatakan bahwa seluruh petugas di rumah sakit terlalu
sibuk mengurusi korban. Padahal Sutan Fulan melihat sendiri pada saat
itu ada dua pejabat tinggi pemerintah datang bersama dia. Dokter rumah
sakit melayaninya tergopoh-gopoh. Sutan Fulan tersinggung hatinya , dia
merasa terluka.”
“Pejabat propinsi itu, apa penyakitnya? Apa terkena ledakan pula?”
“Tidak. Mereka ingin dokter memeriksa luka di kemaluan mereka.”
“Luka karena apa?”
“Siphilis.”
Mendengar itu majelis sidang meledak tawanya. Tapi hakim ketua segera meminta mereka dia.
“Teruskan.” kata hakim.
“Sutan Fulan terluka perasaannya. Jari kelingkingnya bertambah sakit dan
mulai membusuk seminggu kemudian. Dia lalu terpaksa memotongnya sendiri.”
Sang hakim mendengarkan kesaksian itu dengan sangat seksama. Lalu ia melanjutkan pertanyaan.
“Apakah Anda juga mengetahui bagaimana keadaan Tuan Fulan saat nyawanya dijemput?”
“Tentu saja saya melihatnya. Meskipun dalam keadaan teraniaya dia ikhlas
menerima kematiannya. Namun hukum di sini harus ditegakkan.
Pengaduannya mesti diteliti untuk diberi keadilanKu.”
“Kesaksian telah cukup,”sang hakim lalu menoleh pada Empat Hakim
Pendamping di sebelahnya, menanyakan apa masih ada pertanyaan. Tapi
mereka mengatakan sudah cukup.
Saksi lalu meninggalkan ruang pengadilan itu yang sidangnya disiarkan
secara langsung ke seluruh Kota Suf. Orang-orang yang sedang menonton televisi menyaksikan siaran langsung itu, lalu bertanya; Engkau, selama ini ke mana saja?
Gedung itu adalah sebuah gedung mahkamah dengan pelemahan yang sangat luas. Fondasinya lembut seperti daging batang pisang dan televisi-televisi berukuran raksasa dipajang di setiap sudutnya. Orang-orang menonton,
karena hari ini juga Dewan Hakim akan memutuskan perkara tuntutan Sutan
Fulan yang menuntut petugas sebuah rumah sakit propinsi di dunia karena
telah menyebabkan dia kehilangan jari kelingkingnya.
Namun hanya ada acara hiburan di televisi. Taka ada berita tentang vonis
hakim atas rumah sakit propinsi itu. Keculai sebuah berita senja
tentang ditemukannya mayat seorang pedagan nasi Padang di pantai
Kotilagin bernama Sutan Fulan. Menurut polisi , itu adalah salah satu
korban ledakan di Kotilagin yang belum ditemukan oleh tim evakuasi
sebelumnya. Sejak itulah Tuhan malas menonton televisi. Begitu tutur Haji Kamungkin mengakhiri ceritanya.
*****
Entah benar entah tidak, pitutur Haji Kamungkin sangat membekas di
ingatanku dan juga teman-temanku yang sama duduk dengan dia di sebuah
lapau untuk mendengarkan apa saja yang dikatakan Haji Kamungkin. Hampir
tak ada di antara kami yang memiliki gambaran utuh tentang Kota Suf
seperti diceritakan beliau. Bagaimana pula ketika Tuhan muncul di
televisi? Apakah Dia berupa? Apakah orang-orang yang melihatNya hangus
atau pingsan seperti ketika Nabi Musa melihat Tuhannya di Bukit Tursina.
Bagaimana Tuhan tersenyum? Bagaiman saat Ia berjalan?
Haji Kamungkin tidak menjawab ketika pertanyaan- pertanyaan diajukan. Ia
menjanjikan akan menjawab suatu hari semua pertanyaan. Kebetulan,
seusai bercerita, waktu ashar tiba. Haji Kamungkin menyuruh kami pergi
ke surau untuk menunaikan shalat. Ia sendiri, kami tak tahu entah pergi
ke mana. Bayangannya hilang di turunan jalan ke air. Selama ini kami
memang tak pernah melihat Haji Kamungkin shalat berjamaah bersama
orang-orang di surau kampung.
Orang-orang tua bilang, Haji Kamungkin kalau sembahyang berjamaah hanya
di surau Lereng saja. Dinamai begitu, bukan karena letaknya yang di
lereng bukit. Tetapi sejarah surau itu dibangun oleh orang-orang dari
Lereng sebuah pemukiman di hulu sungai yang sekarang telah menjadi
perladangan penduduk. Dulu orang-orang lereng adalah penganut aliran
tarekat. Untuk mudahnya, nama tarekat mereka oleh orang kampung disebut
Tarekat Lereng. Setiap bulan Shafar mereka akan melakukan semacam ritual
di surau tua di Lereng itu yang konon, di halamannya ada makam syekh besar guru mereka. Konon pula, bagi orang-orang Lereng, melakukan ritual pada bulan Shafar, sama dengan nilainya dengan naik haji.
Aku sendiri tak tahu benar mengenai tarekat itu. Hanya mendengar dari
mulut ke mulut. di madrasah aliyah tempat aku belajar, tak pernah ada
pelajaran yang membahas perihal mereka. Pun tak ada ustad yang
benar-benar mengetahui tentang Tarekat Lereng. Kecuali kabar-kabar
mengenai keganjilan peribadatan mereka. Kebanyakan ustad di kampungku
malah menfatwa sesat untuk mereka yang mengikut-ikut cara peribadatan
orang Lereng. Ganjil juga, mereka menfatwa sesat untuk sesuatu yang sama
sekali tak mereka ketahui.
Aku dan teman-teman sepengajianku sebenarnya masih menunggu Haji
Kamungkin untuk mendengar kelanjutan ceritanya tentang Kota Suf. Sudah
tiga bulan semenjak ia bercerita tentang pengadilan Kota Suf itu kami
tak lagi melihatnya. Angan mudaku menyangka jangan-jangan ia sedang ke
Mekkah untuk berjalan-jalan. Jangan-jangan memang benar Haji Kamungkin
memiliki kemampuan mengirab sebagaimana dongeng-dongeng tentang guru-guru orang Lereng………….
Kami tak pernah melihatnya lagi. Bahkan hingga seorang dari teman
sepengajianku menikah dan aku menamatkan sekolah di Madrasah Aliyah
Negeri beberapa bulan kemudian, Haji Kamungkin tak kunjung ada kabar
beritanya. Aku sampai berpikir ia telah sungguh-sungguh raib seperti
sebuah ilusi. Hingga suatu dinihari aku dikejutkan oleh suara heboh
orang-orang di jalanan kampung.
Bergegas aku membuka pintu dan berlari ke arah beranda rumah untuk
melihat apa yang terjadi. Sebuah truk tentara berhenti di jalanan di
depan rumahku. Sejumlah orang bersenjata lengkap turun dari truk itu
lantas bergerak mengepung sebidang tanah persawahan di seberang timur.
Sepertinya mereka sedang mengepung seseorang.
Dor….dor….teeretet…ya……….Allah
Aku mendengar jeritan, suara tembakan yang berbalas dan suara orang
tumbang dihajar peluru.Suasananaya begitu mencekam. Orang-orang kampung
hanya berani berdiri di luar pagar rumah mereka. Tak berani mendekat ke
persawahan itu.
Angan mudaku mencoba mengira-ngira apa yang terjadi. Tapi tak ada yang
bisa kupikirkan saat ini. Keadaanya ngeri sekali karena sepanjang hidup
aku tak pernah mendengar suara tembakan.
Ada sejam lebih suara baku tembak terdengar. Kemudian bentakan-bentakan.
Dari beranda aku melihat para tentara menggiring seseorang dengan
paksa.
“Mana yang lain…….lekas tunjukkan!”
Orang yang digiring itu tetap diam.
“Kamu Sutan Fulan………mengaku!”
Cahaya senter menerpa wajahnya sekilas. Tapi cepat sekali. Hanya
meninggalkan ingatan samr-samar. Aku mengira-ngira: siapakah orang
kampungku yang bernama Sutan Fulan? Rasa-rasanya aku pernah mendengar
nama itu. Tapi tak ada orang kampung yang bernama Sutan Fulan. Aku
pernah mendengar nama itu hanya dalam cerita Haji Kamungkin.
*****
Aku tak pernah tahu apa yang terjadi. Beberapa hari kemudian rumah
seorang ustad dikepung oleh sejumlah polisi dan tentara bersenjata
lengkap. Mereka menangkap sejumlah orang dan membawanya. Kabarnya,
orang-orang itu terlibat dalam sebuah kelompok teroris. Yang jelas
semenjak ini, sering saja orang-orang baru tak dikenal(dari bisik-bisik
kudengar mereka intel-intel tentara dan polisi) yang berkeliaran
mengawasi pengajian-pengajian malam di masjid dan surau-surau. Seolah
tempat-tempat suci itu telah menjadi camp bagi teroris.
Aku sendiri merasakan betapa makin tak nyamannya mengikuti
pengajian-pengajian di surau dan masjid kampung belakangan ini. Bukan
hanya merasa dimata-matai, tapi juga lantaran isi ceramah dalam
pengajian yang semakin penuh dengan kutukan demi kutukan terhadap kaum
teroris. Hampir setiap ulama sekarang, tampaknya menjadi fasih
melafalkan ayat baru ini, teroris. Sedang di antara orang kampung
sendiri, sedikit sekali yang benar-benar mengerti apa maksud yang
sesungguhnya.
Aku bahkan merasakan suara azan yang indah, sekarang hampir seperti
teror di kepala. Makin sering orang mengucapkan kata teroris, maki hebat
teror itu mencekamku. Koran-koran, televisi, radio, semuanya kini
bergerak dalam satu gelombang yang sama. Sebuah gelombang besar yang
dihalau ke dalam diri lulusan madrasah sepertiku, kepada anak-anak yang
mengaji, kepada orang-orang yang mencintai kitab dan nabi, hingga mereka
nyaris kehilangan rasa percaya kepada apa yang semula menjadi pegangan
hidup mereka. Semuanya sekarang seperti berubah menjadi bayangan yang
berbisik untuk takut pada dirinya sendiri.
Sering kurindukan sebuah kota atau sebuah negeri yang lebih nyaman, tak
ada teror, tak ada gelombang yang menghalau orang untuk lari ke dalam
ketakutan. Mungkin seperti kota Suf. Sebuah kota di mana Tuhan dapat
saja bersaksi dan membeberkan segalanya dengan jujur.
Sering aku rindu untuk sampai ke sana. Tapi aku tak pernah tahu
jalannya. Haji Kamungkin yang pernah mengaku mengetahui jalannya, tak
pernah lagi kelihatan. Kalau aku mengingatnya, yang terbayang bagiku
adalah cahaya senter menimpa wajah seseorang di suatu malam yang
mencekam itu. Wajah yang bersih, tetapi terlalu samar untuk dipastikan
siapa pemiliknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tulis komentar anda , untuk menambah dan memperbaiki kualitas blog kami