Oleh: Raudal Tanjung Banua
Sehabis jalan menikung, dengan aspal yang
mengelupas, Aida, gadis kecil berkerudung yang melangkah tergesa ini,
akan bersua rumah panggung Uncu Eba, rumah tua miring milik guru mengaji
yang paling disegani di selatan kampung.
Konon,
karena terletak dekat makam keramat Buyut Lebai moyang suci orang
Loloan – Uncu Eba dianggap beroleh barokah dari aura makam yang sunyi;
dari makam kudus bayi-bayi yang juga bertebaran di sekitar situ; dan
senyap doa malam Jum’at, mantra dan zikir peziarah yang membubung takzim
dari sebalik liar perdu dan belukar puding emas………
Ke situ Aida menuju. Begitu lekas. Meninggalkan tanah-tanah kosong dan
kebun lapang di utara, tempat yang teduh buatnya bermain, menjelajah
dunia kanak. Dunia yang lama terlantar dan seolah retak, sebab sosok
Uncu Eba dan sorot mata ayahnya senantiasa membuat Aida mempercepat
langkah. Melecutnya bergegas ke selatan. Tak tanggung-tanggung. Tiga
kali sehari. Subuh sebelum sekolah. Siang sepulang sekolah. Malam antara
maghrib dan Isya. Dan kalau piket bermalam di sana, di rumah panggung
tua, dekat makam keramat yang jauh lebih tua. Tak usah cemas. Terlalu
banyak hal keramat dalam hidup jadi cibiran, sepanjang barokahnya milik
orang lain. Uncu Eba, sang guru yang mengasuh Aida, tahu sedikit soal
ini, maka ia tak ingin bersaing memperebutkan anak-anak yang mengaji.
Sudah sejak lama ia putuskan hanya menerima murid perempuan saja, itupun
dibatasi tak lebih 20 orang . Sisanya secara tak langsung ia
persilahkan datang ke guru lain yang bertebaran di setiap gang dan sudut
kampung, meski selalu saja telunjuk dan cibir terlanjur menuding.
Datang tepat waktu, dengan nafas terengah
Aida menaiki tangga rumah panggung tempatnya mengaji; menaruh mukenanya
di geladak, dan tanpa sempat istirahat barang sejenak, langsung ia ke
kolah di belakang rumah untuk berwudlu. Azan maghrib bagai ditembakkan
dari menara masjid yang tua, dan seperti biasa Uncu Eba akan memimpin
jamaah kecilnya dengan suatu sikap yang tak terbantah: penuh wibawa dan
tak seorangpun boleh terlambat. Karenanya Aida dan kawan-kawannya yang
lain mesti bergegas. Tetapi di dapur Aida memergoki Farida , kawan satu
piketnya, mengendap seperti pencuri ,” Kak Rida nyari apa? Ndak ke
kolah?”
Farida, murid paling tua, gelagapan. “
Awak sudah berwudlu,” katanya, dan membuat isyarat rahasia. “ Awak perlu
minyak goreng,” Ia menuangkan minyak dari dalam botol ke telapak
tangan, lalu mengusap-usapkan ke telinganya yang lebar. Aida tak
mengerti tapi tak ada waktu untuknya bertanya lagi, kalau tak ingin
telat sholat dan Uncu Eba mengomelinya. Aida bergegas ke kolah, dan tak
lama kemudian kembali ke geladak, tempat sholat berjamaah segera dimulai
dengan ruku-sujud jamaah kecil yang mempesona dan getar suara “ Amin………..” serentak bergema.
Selesai sholat, tempat itu segera diramaikan nyanyian shalawat sebagai salam pembuka kaji,”Allahumma……..”
Suara mereka begitu padu, seirama tubuh yang diayun-ayunkan,
dicondong-condongkan, mengalahkan suara serangga dan kaku pohonan di
luar. Setelah itu hening sebentar. Jeda oleh doa singkat. Jadi pertanda
kaji bisa dieja, ayat demi ayat dibaca. Setiap anak lalu sibuk dengan
bagiannya masing-masing; mengalunlah lagu dan irama, getar suara
kegaiban bagai diserap dinding rumah. Bila dirasa cukup, Uncu Eba akan
berkata,”Cukup!” Maka bergantian murid- murid maju kehadapannya . Yang
lain boleh tetap menghapal dan mengeja. Dalam hati. Tak lama datanglah
giliran Farida, susah payah ia membaca surat Al-Baqarah. Diulang
beberapa kali hasilnya sama saja. “ Payah, kemarin tinggal kaji,
sekarang malah lebih payah! Tak bakal naik kaji lagi kau!” Uncu Eba
marah-marah. Bersamaan dengan itu, seperti biasa, jari telunjuk dan ibu
jarinya berubah menjadi ’kunci inggris”, memelintir telinga si gadis
yang payah. Saat itulah Farida melihat “kunci inggris”, menggelincir
dari sasaran, dan sorot mata Farida tampak alangkah puas, meski tetap
berpura meringis, tentu saja. Kini Aida menyadari fungsi minyak bagi
telinga, dan ini menggenapkan penemuan gemilang mereka sebelumnya.
Aida dan tiga teman piketnya, Suraya,
Farida dan Antin memang selalu berupaya menghadapi ancaman dengan
seluas-luasnya akal-akal yang murni. Meski apapun tindakan sang guru
semata untuk menegakkan aturan. Menjewer telinga atau mencubit paha anak
yang tak fasih mengeja kaji. Sebab lewat mata kelerengnya, si guru tahu
mana anak yang menghapal kaji atau berlali diri: main sikut, bercanda,
berbisik lalu menahan tawa. Maka selalu ada peraturan tak tertulis di
setiap beranda, di setiap rumah, apa lagi di rumah panggung
tempat mengaji. Meski selalu pula ada yang melanggarnya, karena untuk
itulah kata orang, peraturan ada. Dan jangan khawatir , hukum menguntit
tiap yang lalai. Maka, barang siapa berlalai diri lalu tak hapal kaji,
terimalah jepitan panas “ kunci inggris”, di paha atau telinga.
Sementara bagi yang tidak berlalai diri,
tapi masih saja susah mengeja kaji, Uncu Eba tetaplah guru yang
bijaksana, meski dengan segala omelan dan sikap tak sabarnya.
Dituntunnya anak lebih pelan, diberinya waktu untuk menghapal, atau
ditunjuknya salah seorang murid yang lebih pandai untuk mengajari. Tapi
kesempatan dituntun lebih pelan tak jarang membuat si anak semakin lupa
kaji; gemetar atau tersadar betapa diri di tubir jurang. Kalau masih
saja sulit, kebijakan lain menyusul: si anak tinggal kaji, bahkan turun
kaji. Sebagian merasa ini tak lebih buruk dari pada hukuman, karena
kata-kata,” Si Farida tak naik kaji,” cepat bergema, membuat malu dan
kecil hati. Atau setelah dituntun berulang-ulang, bahwa Tsa bukan Sah, panjang bukan dengung, berhenti bukan langsung, hudam bukan hudan,
dan seterusnya, masih saja engkau bingung, maka tak pelak jari
telunjukdan ibu jari Uncu Eba membentuk formasi “kunci inggris” yang pas
menjepit telinga atau paha siapa saja. Setelah sholat berjamaah,
segenggam lidi ganti bicara. Taka datang mengaji tanpa izin, lima kali
lecutan ekor pari ganjarannya. Itu biasa. Terimalah dengan kaki menjulur
pasrah, agar tegak hukum bagi semua.
Namun Aida, Suraya, Farida dan Antin tak
menyerah. Mereka biasa memakai pakaian berlapis. Paha mereka yang kerap
jadi sasaran lecut dan cubit didempul pakai kain panjang atau sarung
pelekat, sehingga si ekor pari hanya akan menderam di gulungan kain, dan
Farida atau Antin, Aida atau Suraya, bakal berpura meringis dan jika
perlu berguling sedikit mengaduh, meski jelas ekor pari tak bermata. Dan
maghrib ini menemukana lagi cara unik melindungi telinga dari cubitan
Uncu Eba. Sempurna.
Meski tudingan akan aura makam suci serta
gunjing yang menyebutnya sebagai guru yang keras terus bergaung, toh
Uncu Eba tak kekurangan murid. Sehabis musim Khatam, selalu
saja berdatangan orang tua menyerahkan anaknaya ke sana. Idris Abas,
ayah Aida, salah satunya, bersimpuh di tikar lusuh, luruh dalam
penyerahan, dan disambut sang guru dengan takzim penerimaan.
Masih terbayang di mata kecil Aida, mata
tua Uncu Eba, mata yang selalu ditakuti murid-muridnya, menyala seketika
seolah lampu minyak yang diperbesar sumbunya; begitulah sang guru
mendapatkan semangat pengabdian dalam hidupnya. Dan aroma anak-anak
sepantaran usia TK, SD, hingga SMP yang diantar ke situ, bagai gaharu,
damar, atau cendana yang murni dari hutan rimba; tampaknya mampu
mengubah wajah sang guru memperoleh sedikit cahaya kemudaannya. Lalu
dilerai senyuman singkat simpul, kerut–merut wajah Uncu Eba dengan 55
lebih sayatan pisau waktu yang bagaimanapun tak
tersembunyikan–mengumpul, membentuk gumpalan halus yang kudus. Ujung
tengkuluknya berayun pelan ketika ia merunduk sedikit, menyimak
basa-basi penyerahan, ayah atau ibu si anak yang mulai detik itu
menyadari bahwa anak-anak panah kecil lincah itu memang bukan milikmu.
Sang guru menarik nafas, malas dan berat.” Entahlah, anak sekarang senang sekolah ketimbang ngaji…”
“ Kini tunjuk ajari anak awak, Ncu,
seperti dengan anak sendiri. Jangan segan-segan, Ncu. Malu dan berdosa
awak, kalau sampai dia mendurhaka…..”
“Awak terima dia. Tanggung jawabnya
berat. Dunia sebegini piciknya, sedang awak harus membuat anak di sini
punya telinga , mata hati dan rasa malu.”
Demikian suasana penyerahan dan
penerimaan yang terus hidup di kepala Aida. Ya, itulah kata dan laku
standar yang berlangsung dalam logat kampung, dan lebih dari itu, dalam
logika dan alam pikir kampung. Semua demi sang anak yang lunak, namun
sebentar akan tumbuh menantang keras dunia. Maka, jika melenceng dia,
akan dibuat selurus jati. Kalau keras hati dia, akan diubah selunak
lumpur lempung. Perlu guru yang tegas, dan akan lebih bagus kalau
memang ada aura kekeuatan dari makam keramat leluhur. Agar anak cepat
paham , dunia ini kotor belaka. Betapa mulia. Maka tak terpungkiri,
makam keramat kadang menjadi pertimbanagan tersendiri bagi orang tua
mengantar anaknya ke rumah Uncu Eba.
Tapi tak usahlah Uncu Eba terlalu
diselidik dari keberuntungannya yang didengungkan sebagian orang dengan
nada sumbang, maaf, sesumbang dengung kumbang taik. Kalaupun ada orang
tua murid yang menganggap makam keramat penting, apa salah Uncu Eba?
Sebagai guru mengaji yang dititahkan tugas suci, perempuan itu
menjalankan tugasnya sepenuh hati . Membuat anak-anak hapal kaji, fasih
lafaz dan benar tajwidnya, sedari alif ba ta, juz ama, ayat demi ayat
sehingga anak-anak khatam pada waktunya, pada musim ikan atau panen
padi. Ia memandu rukuk-sujud anak-anak, menyimak bacaan sholatnya,
sampai pada arti dan makna. “Wa anna minal muslimin” akan berubah total bila kau ucapkan “ Wamaa anna minal musyrikin,”
demikian suatu amsal. Kalau untuk itu Uncu Eba memanfaatkan rasa
kuasanya dengan lidi,”kunci inggris” atau pecut ekor pari di tangan, apa
salah ia? Tak. Di kampung yang menyadari kotornya lumpur dunia, guru
mengajilah yang membersihkannya.
Karenanya, alih–alih meraih keberuntungan
lantaran rumah panggung tuanya bagai beradu penutu dengan makam keramat
Buyut Lebai, malah kemalangan yang banyak mendera hidup Uncu Eba.
Bahwa sebagi guru mengaji dengan tanggung jawab dunia-kherat ia tak
digaji, itu jelas kealpaan masyarakat kampung, tapi itulah hukum yang
digariskan. Selain sedikit uang “sedekah lampu” yang jumlahnya tak
tentu, seorang guru mengaji hanya mendapat zakat fitrah sekali setahun.
Tak lebih. Uncu Eba paham hukum kebiasaan, maka ia jalani perannya
selayak kata penyerahan dan penerimaan, seperti juga para murid yang
menjalani hari-hari bersamanya. Tekun berserah. Meski semua anak tidak
lari dari ingatan. Sebagian mungkin lupa kata di hari pertama, namun di
kepala yang lain kata-kata itu tumbuh menyerupai godaan. Membuat mereka
seolah Siti Hawa dengan ketakjuban memandang dunia. Ya, dunia mengaji,
dunia anak-anak tapi diliputi ancaman sejak hari pertama penyerahan!
Dan Uncu Ebapun, lebih dari pasrah
penyerahan dan penerimaan, sesungguhnya juga bergulat dengan nasibnya
yang keras. Sebab di tengah dunia pengabdiannya yang suci, Tuhan
mengujinya dengan cobaan. Suaminya Ali Makri, seorang tukang kayu, 12
tahun lebih tua dari Uncu Eba yang perawan tua. Si Ali membawa dua anak
tiri, yaitu Zulfaidah, yang keras kepala tapi gampang putus asa. Dua
kali ia mencoba bunuh diri; mengiris nadi, dan terjun bebas ke sumur.
Yang kecil, Udin, lumayan rajin, tapi ada saja yang tak beres dari
kerjanya. Dua anak Uncu Eba sendiri, Faisal dan Rodiyah, manja dan tak
tahu diri. Selebihnya adalah kenyataan bahwa si tukang kayu milik Uncu
Eba jarang pulang; jika sesekali datang, alamat debat dan tengkar akan
berulang. Si Ali kabarnya bertukang sampai Buleleng dan Gianyar. Tapi
orang-orang tahu belaka, lelaki bermata juling itu punya perempuan
“gendakan” di Siririt, dan kalaupun ke Gianyar, ia menjadi makelar
ruma-rumah kayu tua. Lewat perantaranya, entah sudah berapa banyak
rumah panggung-rumah bertiang tinggi khas Kampung Loloan berpindah
tempat ke Ubud, Sanur, dan Tegallalang, sebagian diboyong ke Jawa atau
mungkin ujung benua. Meski untuk itu , jarang uangnya mampir ke tangan
Uncu Eba, sang istri yang suci tapi merana.
Di tengah pertengkarannya yang keras,
kasar berulang dengan Zulfaidah ; geleng kepala yang ironis kepada Udin
yang rajin tapi celaka; nada memelas kepada Rodiyah dan Faisal yang
pemalas; serta sumpah setengah hati kepada bang Ali; Uncu Eba berusaha
hidup dengan jalannya sendiri. Pagi-pagi, seusai jam mengaji, dekat
trotoar bobrok depan rumahnya, Uncu Eba berjualan nasi kuning, plecing
kangkung, dan penganan lengkap buat sarapan orang-orang yang baru bangun
tidur. Di atas sebuah meja panjang dialasi plastik yang di sana sini
robek terburai, aneka jualan tergelar, dari sepagi hari sudah
dikerubungi orang-orang yang isi perut mereka seolah lenyap dicuri
semalam.
Untuk semua pekerjaan menimba air,
mengangkat ember, membawa kayu bakar, meniup api di tungku , mencuci,
menyetrika dan melipat kain, hingga menyapu halaman dan membuang sampah
Uncu Eba mengandalkan tenaga murid-muridnya yang sudah diatur dalam
istilah “piket”. Bergantaian antara tiga dan empat anak, kecuali Jum’at.
Hari libur . Karena kerja berjualan dimulai sejak dini, maka anak yang
mendapat giliran “piket” harus bermalam di rumah guru. Tidur di atas
tikar tempat mengaji , berbantal tatakan al Qur’an, berselimut mukena
atau sajadah . Jadi orang mesti prihatin.
Hari Senin, giliran Aida, Suraya, Farida
dan Antin piket. Siang ini, sepulang sekolah, Aida sudah kembali
bergegas menyusuri jalan yang mengelupas itu, jalan yang tak kunjung
diaspal pemerintah seperti jalan kampung di bagian lain kota kecilnya.
Sehabis mengaji tengah hari, anak-anak berhamburan pulang, tetapi yang
piket tinggal membantu guru membereskan pekerjaan rumah; mencuci pakaian
keluarga, menyetrikanya dengan setrika bara, dan melipatnya dalam
almari kayu, meski sebentar Faisal atau Rodiyah akan memberantakkan
seenaknya. Tak ada yang berani menegur, bahkan Uncu Eba pun tidak, ia
kelewat memanja anaknya sendiri. Tapi mereka, empat anak satu piket,
rajinnya tetap tak kepalang; seolah dengan itu kenakalan mereka dengan
sang guru tertebuskan. Rajin mengabdi agar terang otakmu mengabdi……….
Lihatlah mereka: Farida memanggul kayu
dari kolong rumah, naik terengah meniti tangga dapur. Aida dan Antin
menimba air di sumur, mengisi kolah yang lebarnya seukuran bak mobil pick-up.
Suraya, sehabis mencuci piring minta ditimbakan seember air, lalu
membawanya ke dapur. Namun di tengah anak tangga ke tiga tubuhnya
limbung. Terhuyung. Hampir saja ember jatuh terbanting. Farida yang
masih bolak-balik memanggul kayu di punggung melihat sahabatnya itu
pucat, dan Suraya sendiri kembali bergegas ke arah sumur. Farida
menghempaskan kayu yang dipanggulnya dan berlari menyusul. “ Suraya.
Kenapa dia?” sesak nafasnya bertanya kepada Aida dan Antin yang segera
menggeleng tak tahu. Tapi bertiga mereka merangsek ke dalam kamar mandi,
dan mendapatkan Suraya panik bukan buatan. Ternyata , gadis kelas enam
itu merasakan celana dalamnya basah oleh cairan yang tak dikenal! Kini
Farida ,murid SMP, menarik nafas lega dan memastikan,”Kau mens! Awak juga seperti ini dulunya.” Aida dan Antin , yang baru lepas masa bocah, melongo bodoh.
Entah karena kelelahan atau memang sudah
waktunya bagi Suraya mens pertama, yang jelas piketnya menyita tenaga
setiap anak. Dan “piket” itulah hak istimewa seorang guru mengaji. Bukan
saja karena sang guru tak digaji, atau lantaran ikhlasnya kata
penyerahan pada hari pertama, tapi jauh lebih mulia: lewat cara itulah
sang guru mendidik sang anak, lebih dari sekedar urusan mengaji! Jangan
aku kira hanya di rumah Uncu Eba saja, karena sang guru faham betul hak
istimewa ini. Biasa anak-anak diajak ke sawah guru, mencabut benih,
menyiang rumput, menyukat padi ke dalam karung goni. Guru lain yang
berprofesi sebagai tukang jagal sapi, tidak meluputkan seorang anakpun
diajak bergantian sedini hari ke tempat jagal; gudang tua di sudut
pasar, genangan darah beku semata kaki. Yang lain mengajak muridnya ke
pelabuhan atau los pasar ikan, mengajarnya berniaga. Dan sekolah itu
nomer dua, karena, wahai, menyangkut dunia-seakan pelabuhan , rumah
jagal, dan pasar ikan bukan bagian dari hibuknya dunia………..
Uncu Eba menggunakan hak istimewanya ini
sebaik-baiknya, yang berarti mendidik anak-anaknya lebih jauh. Mengaji
tak sebatas membaca kitab suci tapi juga melatih mengerjakan tugas
rumah. Ini menyangkut nasib mereka nanti. Apalagi murid-murid Uncu Eba
perempuan semua, yang kelak akan”ber-laki” dan beranak. Dan itu
dipandang orang tua sebagai guru yang bertanggung jawab, tak sebatas
dunia tapi menjangkau kehidupan luas , jauh ke akhirat……….
Ayah Aida tahu soal ini. Karenanya,
hampir setiap waktu Aida mendapat amanat dan petuah: guru mengaji wajib
dipatuhi, tak peduli telinga si anak telah lecet berdarah. Si ayah akan
balik menuduh Aida tak patuh, jika sesekali gadis kecil terisak mengadu
kepada emak-dan emak berbisik ke telinga si ayah,” Benar, Bang, Ncu Eba
keras mengajar. Telinga Aida sampai berdarah. Apa sebaiknya dia mengaji
lagi di Mak Yah? Dekat rumah,dan waktunya mengaji hanya sekali sehari.”
“ Sehari sekali katamu?!Kapan anak itu khatam?” si ayah geram.
“ Lagian ke sekolah sering telat. Gurunya juga marah di kelas. Kasihan .”
“Sekolah yang lebih kau pikirkan! Sudah
banyak makan biaya, kalau tamat belum tentu jadi orang! Si ayah tambah
geram, dan mengulang pesan yang sama ke telinga anaknya yang
berdarah,”Rajin-rajinlah membantu guru, patuhi perintahnya, maka akan
terang otak kau mengaji!”
Tapi meski berusaha membantu guru dan
tidak melalaikan kaji, tetap saja susah bagi Aida membaca , melafal dan
menghafal ayat-ayat dengan benar. Akibatnya, seperti semua anak yang
pernah merasakan “kunci Inggris”, lidi dan ekor pari, begitu pula Aida.
Kadang ia merasa , dirinyalah yang paling sering menerima hukuman itu,
dan telinganyalah yang lebih tebal dari semua. Ia malu dan putus asa,
tapi selalu ingat mata ayahnya: mata lelaki penggali kubur yang
mengimpikan gadisnya khatam sedini mungkin karena hanya dengan begitu
kebanggaan seorang miskin melekat seumur badan. Bila ingat ayahnya yang
bahkan lebih keras dari Uncu Eba, Aida merasa kesal, meski juga iba
melihat paras miskin dan harapan berbaur di wajah sang ayah.
Perasaan yang sama tertuju pada sosok
sang guru. Perasaan tak suka bercampur kasihan. Sebab Uncu Eba galak di
geladak, di arena mengaji, meski juga tidak. Perempuan keras itu ,
sering membentang sendiri tikar sembahyang untuk jamaah kecilnya:
menyiapkan lampu minyak buat berjaga-jaga karena lampu bikinan PLN kerap
mendadak mati. Apalagi di luar itu, terutama saat bekerja sama dengan
anak yang “piket”, Uncu Eba adalah sosok yang lunak. Kadang, di mata
kecil Aida, yang baru sedikit memandang dunia terpancar satu kesan yang
samar: sang guru lelah. Sering Aida melihat mata Uncu Eba basah, sisa
isak di dadanya. Dalam situasi begitu, sang guru yang garang ganti
gelagapan, dan Aida menyelinap membereskan piket di bagian yang lainnya.
Aida pun pernah melihat Uncu Eba menyemburkan gumpalan merah segar
dari mulutnya, yang seketika melayang jatuh di tingkap dapur, dan segera
diperebutkan ayam-ayam. Selanjutnya dengan terbungkuk-bungkuk Uncu Eba
menahan batuk dan menekan sesak dadanya. Aida tak paham apa yang mendera
tubuh gurunya. Karena tak tahan, ia berbisik pada Farida,”Uncu Eba
batuk darah.”
Farida menutup mulut Aida,”Jangan kau ulangi.”
“Tapi awak lihat sendiri..”
“Iya, tapi jangan kau sebut lagi!”
“Karena awak lihat beberapa kali. Kenapa tak boleh?”
“Nanti semua tahu, jualannya tak laku.”
Aida merasa berdosa , dan sejak itu , apabila tak hapal kaji, ia merasa berdosa membuka rahasia sang gurulah penyebabnya.
Setelah sepanjang siang mempersembahkan tenaga kepada guru, malamnya sehabis mengaji anak yang piket tergeletak di geladak kecuali Suraya yang alpa. Mungkin ia masih shock atau
sakit pinggang atas kejadian tadi siang. Tanpa kehadiran Suraya terasa
ada yang kurang. Anak itu gemar menceritakan segala sesuatu tentang
orang lain, dan itu sering mengejutkan. Entah dari mana ia tahu,
misalkan,” Lihat ndak Kak Zulfaidah sekarang? Banyak mengalah sama Uncu
Eba. Tahu kenapa? Ia pacaran dengan Bang Muklis.” Suasana akan terasa
lain, meski semua cerita disampaikan dengan berbisik. Tapi bila malam
ini pun Suraya ada, rasanya ia tak mungkin berbisik, dan ketiga
sahabatnya juga tak akan menyimak dengan baik. Soalnya malam ini Pak Ali
pulang, dan larut malam terdengar suara dari kamar belakang, merambat
dan menjalari kepala tiga anak yang tak bisa pejam di geladak.
“ Abang jangan pergi terus, badan awak tambah tak sehat. Nafas sesak dan batuk da……..,” Uncu Eba terbatuk- batuk.
“Ke dokterlah. Minta antar si Zul.”
“ Awak enggan, takut disebut sakit parah. Lagi pula mahal.”
“Pandai-pandailah jaga badan. Jangan batuk terus.”
“Bagaimana awak menahan batuk, Bang?!”
“Berusaha jangan hanya berdoa terus!”
Tiga anak di luar menerawang memandang pagu. Mereka tahu pertengkaran bakal pecah, dan berulang, seperti biasa.
“Dinding bagian depan hampir roboh!” Uncu Eba beralih soal.
“Besoklah awak perbaiki. Perkakas awak tinggal di Singaraja.”
“Besok, besok abang bilang, tak juga dikerjakan. Apa salahnya pinjam dulu perkakas Idris?”
“Bahan awak juga tak punya. Perlu setidaknya empat tiang penyanggah.”
“Yang lama masih bisa dipakai? Atau ambil di Toko Agung.”
“Ponakanku sudah tak kerja di situ.”
“Tapi Muklis yang disukai anakmu jadi sopir kepercayaan di sana.”
“Awak tak mau tahu!”
“Bilang sama si Zul anakmu itu, kalau
pacaran jangan di balik pagar. Ini tempat mengaji. Banyak anak-anak.
Dasar gatal! Mendingan ayahnya peduli, pulang saja jarang. Rumah mau
roboh masih saja tak mau tahu.”
“Ah sudahlah! Kalau roboh jual saja ke Ubud, habis urusan! Kita bisa bangun rumah tembok yang baru. “Kan begitu dulu usulku?”
Benar, pertengkaran meledak semalaman,
disimak anak yang tak bisa pejam. Mata dan jiwa mereka dipaksa menerima
suara kelam dunia. Memang menyedihkan. Rumah panggung guru mengaji itu
sudah miring. Sementara di sepanjang jalan lain, gang dan sudut kampung,
orang-orang berlomba membangun rumah baru, atau sekedarnya membuatnya
lebih besar. Ada rumah tukang emas, dekat masjid yang terbengkalai,
justru dibangun berlantai empat. Kabarnya ada kolam renang segala di
lantai atas. Rumah megah juragan beras, istana pualam pengusaha sarang
walet, semua menyumbul di tengah kesengsaraan kampung. Seperti mengejek
nasib sang guru yang diam-diam bergulat dengan penyakitnya, tanpa dokter
dan obat. Mengejek juga kampung-kampung keseluruhan yang nelangsa
dengan deretan rumah panggung tua, rumah-rumah kotak setengah gedek yang
terus tumbuh berdempet, diantara sedikit rumah batu berplafon rendah
sisa bantuan korban gempa tahun 70-an.
Sedini hari ketika Aida yang lain
terbangun, sesosok bayang tampak berkelebat turun. “Pak Ali pergi
lagi,” bisik Antin. Yang lain mengangguk. Mengerti. Dan seolah tak
terjadi apa pun semalam, ketiganya segera membantu sang guru. Uncu Eba
tampak pucat, pasti karena tak tidur. Tapi kemudian, Aida bergegas
mencari Farida. “Awak lihat Ncu Eba batuk darah lagi,” lapornya seolah
tak bisa menahan diri.
“Juga kulihat sendiri,” kali ini Farida ikut bicara, sedih.
“Nafasnya sesak, mungkin kita tak mengaji pagi ini.”
“Asyik!” Antin malah bersorak dalam hati.
Tapi diluar dugaan mereka, pengajian
berlangsung sebagaimana biasa. Tugas tiga anak yang piket selesai tepat
waktu, dan anak-anak yang lain datang. Mereka berebut mengambil air
sembahyang di kolah yang sudah diisi oleh yang piket. Uncu Eba
tetap jadi imam. Di luar dugaan pula, Suraya datang bergegas, tapi
teringat sesuatu; eit, jangan lupa mendempul pahamu karena ekor
pari telah menanti! Maka cekatan Suraya membelitkan kain panjang di
pahanya. Namun dalam gegas di pagi samar itu, Faisal muncul dari balik kolah dengan
wajah tak berdosa,”Kau pakai pakaian tebal-tebal biar tak sakit kena
pukul, ya?” Suraya gelagapan dan panik. “Awak bilang ke emak,kalau ndak
boleh lihat rambutmu.” Suraya, antara kaget dan takjub, reflek
melorotkan kerudungnya.
Di atas rumah, diantara batuknya yang
kian bertubi, Uncu Eba selesai mengucap salam. Sebentar lagi anak-anak
akan bersicepat mengeja dan menghapal kaji. Saat itulah Suraya muncul,
dan Uncu Eba yang menganggapnya tak ikut berjamaah seketika
berseru,”Faisal, ambilkan ekor pariku di bilik!” Tanpa rasa bersalah
memenuhi permintaan si emak. Suraya menatapnya tak suka. Tapi remaja
kencur itu balik menatap Suraya, mengejek dan menggoda.
“Kemana saja kau tak mengaji semalam , hah?!”
“Awak sakit, Ncu.”
“Sakit katamu? Siang masih piket, malam
kau bilang sakit. Bohong! Awak lihat segar-bugar badan kau!” Ces! Cambuk
berayun, mendarat di paha Suraya. ”Lagi, biar lenyap iblis-iblis di
kaki kau, agar tak malas melangkah kemari!” Ces! Ekor pari terayun lagi
di tengah omelan tak henti. “Sudah alpa mengaji, eh, tak sholat
berjamaah pula . Neraka, neraka di kepala kau!”
“Tapi awak.” Suraya ingin menjelaskan
bahwa saat ini ia tak boleh sholat, tapi alangkah sukar menemukan bahasa
yang tepat. Ces! Ekor pari mendarat lagi, dan untuk pertama kali
seorang korbannya menangis. Campuran rasa kesal, putus asa, dan sakit
mendera. Uncu Ebapun sepertinya melampiaskan pertengkarannya semalam
dengan kompensasi menggempur si murid.
Aida dan Farida sungguh terteror dan iba
melihat Suraya. Mereka sadar, dalam situasi seperti ini sebentar lagi
pasti giliran mereka yang kena pecut atau cubit. Sebab seketika mereka
merasa hilang minat pada ayat-ayat yang hendak dibaca. Bergegas mereka
pamit ke belakang, tapi secepat itu Uncu Eba melarang, berang,”Diam di
tempat kau!” Tapi Fariad tetap telanjur pergi, seolah tak mendengar
suara sang guru yang merasa terasa lemah. Sebaliknya, Aida yang
tertahan langkah segera mengeluarkan jurus tipu-dayanya: ia buat
wajahnya mengkerut sedemikian rupa, seperti orang yang tengah susah
payah…….
“Kenapa kau ini?”
“Awak sesak kencing, Ncu…?”
Ya, wajahnya seperti menahan kencing ,
.itu mungkin memang demikian karena merasa terancam! “ Pergilah, cepat!”
Dan Aida lolos………..
Di dapur, sebagaimana mereka semula,
kedua gadis kecil itu segera mengendap mencari botol minyak goreng buat
melindungi telinga. Tapi sial! Mereka mendapatkan botol yang kosong.
Aha, ada minyak jelantah di dalam kuali! Takjub, dan gemetar, mereka
mencelupkan jarinya ke dalam kuali dan segera meminyaki telinga mereka
yang malang.
“Jangan banyak-banyak , ntar ketahuan!”
bisik Farida. Aida tak peduli. Marah, panik dan putus asa, entah kepada
siapa membuat Aida melumuri bahkan bukan hanya telinga, tapi juga tangan
dan kakinya. Minyak menetes-netes di lantai dapur, dan merekapun tak
peduli. Secepatnya mereka kembali ke geladak, bersiap menerima
hukuman kalau kaji semalam tak terlafazkan dengan benar atau jika Uncu
Eba marah karena curiga. Tapi Uncu Eba, sehabis mendera Suraya dengan
ekor pari lebih lima kali; kompensasi antara sakit tubuh dan dikhianati
suami hilang keseimbangan. Batuknya kian menjadi, dada sesak, kembang
kempis, turun naik, letih. Akhirnya, dengan wibawa yang tak hilang, ia
perintahkan Zulfaidah menggantikannya, sementara ia sendiri berusaha
untuk tidak limbung menuju bagian terujung rumah panggung dapur. Mungkin untuk memuntahkan dahak, meredam batuk agar tak kentara disimak anak-anak antau mencari air hangat.
Namun berselang tak lama kemudian, yang
terdengar bukan suara batuk yang tertahan, atau air yang tertuang,
melainkan gedebum sesuatu, terhempas terjatuh! Cepat Zulfaidah bangkit,
diikuti beberapa murid yang segera berlari menjenguk. Mereka dapatkan
sang guru terkapar di dapur! Menggelepar sebentar, lantas mengejang.
Seketika suara histeris memecah subuh; kalimat-kalimat suci berbaur
dengan kalimat panik tak berarti. “Ncu, Mak,” berulangkali diteriakkan,
tapi tubuh malang itu tak juga jaga. Lalu diam. Sebentar. Terdengar
erang yang menandakan nafas kehidupan ke luar dari mulut Uncu Eba yang
lamat mengucapkan syahadat, seiring mata kelerengnya lemah terkatub.
Sesekali memutih dan mengerjap. Para tetangga datang bergegas,
menyarankan agar sang guru yang malang dilarikan ke rumah sakit
terdekat. Segera. Sebuah dokar distop, dan dalam pelukan Zulfaidah, Uncu
Eba terangguk-angguk dibawa ke utara, ke rumah sakit daerah. Beberap
anak berlarian mengikuti dokar di belakang dengan selendang hitam-putih
berkibaran didera fajar dan angin pagi yang murni. Tetapi satu persatu
dengan nafas sesak dan tertegak bengong di trotoar, antara keinginan
melambai atau tidak. Sebagian tergugu di bawah kolong rumah, takjub
terpana.
Dan diam-diam di balik tonggak rumah tua,
dua mata bening saling tatap. Mereka teringat minyak jelantah yang
menetes-netes atau tumpah di lantai papan yang licin………….
Subuh itu Aida pulang dengan langkah tak
biasa. Serasa tak menjejak tanah. Rasa tak sanggup ia sampaikan kabar
duka itu kepada ayahnya dan orang rumah. Tapi sebagai penggali kubur,
sebentar kabar pada ayahnya cepat tersampaikan orang lewat, mendahului
mulut Aida yang gugu, bahkan lebih gawat: Uncu Eba meninggal di atas
dokar! Innalillahi……….Saat itu juga, ketakutan dan kecemasan
bagi maut lain; mengendap di wajah kecil Aida yang kini seakan penuh
dosa. Hitam, seperti minyak jelantah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tulis komentar anda , untuk menambah dan memperbaiki kualitas blog kami