Jumat, 09 November 2012

Matinya Seorang Guru Mengaji

Oleh: Raudal Tanjung Banua
Sehabis jalan menikung, dengan aspal yang mengelupas, Aida, gadis kecil berkerudung yang melangkah tergesa ini, akan bersua rumah panggung Uncu Eba, rumah tua miring milik guru mengaji yang paling disegani di selatan kampung.
Konon, karena terletak dekat makam keramat Buyut Lebai moyang suci orang Loloan – Uncu Eba dianggap beroleh barokah dari aura makam yang sunyi; dari makam kudus bayi-bayi yang juga bertebaran di sekitar situ; dan senyap doa malam Jum’at, mantra dan zikir peziarah yang membubung takzim dari sebalik liar perdu dan belukar puding emas………

Ke situ Aida menuju. Begitu lekas. Meninggalkan tanah-tanah kosong dan kebun lapang di utara, tempat yang teduh buatnya bermain, menjelajah dunia kanak. Dunia yang lama terlantar dan seolah retak, sebab sosok Uncu Eba dan sorot mata ayahnya senantiasa  membuat Aida mempercepat langkah. Melecutnya bergegas ke selatan. Tak tanggung-tanggung. Tiga kali sehari. Subuh sebelum sekolah. Siang sepulang sekolah. Malam antara maghrib dan Isya. Dan kalau piket bermalam di sana, di rumah panggung tua, dekat makam keramat yang jauh lebih tua. Tak usah cemas. Terlalu banyak hal keramat dalam hidup jadi cibiran, sepanjang barokahnya milik orang lain. Uncu Eba, sang guru  yang mengasuh Aida, tahu sedikit soal ini, maka ia tak ingin bersaing memperebutkan anak-anak yang mengaji. Sudah sejak lama ia putuskan hanya menerima murid perempuan saja, itupun dibatasi tak lebih 20 orang . Sisanya secara tak langsung ia persilahkan datang ke guru lain yang bertebaran di setiap gang dan sudut kampung, meski selalu saja telunjuk dan cibir terlanjur menuding.
Datang tepat waktu, dengan nafas terengah Aida menaiki tangga rumah panggung tempatnya mengaji; menaruh mukenanya di geladak, dan tanpa sempat istirahat barang sejenak, langsung ia ke kolah di belakang rumah untuk berwudlu. Azan maghrib bagai ditembakkan dari menara masjid yang tua, dan seperti biasa Uncu Eba akan memimpin jamaah kecilnya dengan suatu sikap yang tak terbantah: penuh wibawa dan tak seorangpun boleh terlambat. Karenanya Aida dan kawan-kawannya yang lain mesti bergegas. Tetapi di dapur Aida memergoki Farida , kawan satu piketnya, mengendap seperti pencuri ,” Kak Rida nyari apa? Ndak ke kolah?”
Farida, murid paling tua, gelagapan. “ Awak sudah berwudlu,” katanya, dan membuat isyarat rahasia. “ Awak perlu minyak goreng,” Ia menuangkan minyak dari dalam botol ke telapak tangan, lalu mengusap-usapkan ke telinganya yang lebar. Aida tak mengerti tapi tak ada waktu untuknya bertanya lagi, kalau tak ingin telat sholat dan Uncu Eba mengomelinya. Aida bergegas ke kolah, dan tak lama kemudian kembali ke geladak, tempat sholat berjamaah segera dimulai dengan ruku-sujud jamaah kecil yang mempesona dan getar suara “ Amin………..” serentak bergema.
Selesai sholat, tempat itu segera diramaikan nyanyian shalawat sebagai salam pembuka kaji,”Allahumma……..” Suara mereka begitu padu, seirama tubuh yang diayun-ayunkan, dicondong-condongkan, mengalahkan suara serangga dan kaku  pohonan di luar. Setelah itu  hening sebentar. Jeda oleh doa singkat. Jadi pertanda kaji bisa dieja, ayat demi ayat dibaca. Setiap anak lalu sibuk dengan bagiannya masing-masing; mengalunlah lagu dan irama, getar suara kegaiban bagai diserap dinding rumah. Bila dirasa cukup, Uncu Eba akan berkata,”Cukup!” Maka bergantian murid- murid maju kehadapannya . Yang lain boleh tetap menghapal dan mengeja. Dalam hati. Tak lama datanglah giliran Farida, susah payah ia membaca surat Al-Baqarah. Diulang beberapa kali hasilnya sama saja. “ Payah, kemarin tinggal kaji, sekarang malah lebih payah! Tak bakal naik kaji lagi kau!” Uncu Eba marah-marah. Bersamaan dengan itu, seperti biasa, jari telunjuk dan ibu jarinya berubah menjadi ’kunci inggris”, memelintir telinga si gadis yang payah. Saat itulah Farida melihat “kunci inggris”, menggelincir dari sasaran, dan sorot mata Farida tampak alangkah puas, meski tetap berpura meringis, tentu saja. Kini Aida menyadari fungsi minyak bagi telinga, dan ini menggenapkan penemuan gemilang mereka sebelumnya.
Aida dan tiga teman piketnya, Suraya, Farida dan Antin memang selalu berupaya menghadapi ancaman dengan seluas-luasnya akal-akal yang murni. Meski apapun tindakan sang guru semata untuk menegakkan aturan. Menjewer telinga atau mencubit paha anak yang tak fasih mengeja kaji. Sebab lewat mata kelerengnya, si guru tahu mana anak yang menghapal kaji atau berlali diri: main sikut, bercanda, berbisik lalu menahan tawa. Maka selalu ada peraturan tak tertulis di setiap beranda, di setiap rumah, apa lagi di rumah panggung tempat mengaji. Meski selalu pula ada yang melanggarnya, karena untuk itulah kata orang, peraturan ada. Dan jangan khawatir , hukum menguntit tiap yang lalai. Maka, barang siapa  berlalai diri lalu tak hapal kaji, terimalah jepitan panas “ kunci inggris”, di paha atau telinga.
Sementara bagi yang tidak berlalai diri, tapi masih saja susah mengeja kaji, Uncu Eba tetaplah guru yang bijaksana, meski dengan segala omelan dan sikap tak sabarnya. Dituntunnya anak lebih pelan, diberinya waktu untuk menghapal, atau ditunjuknya salah seorang murid yang lebih pandai untuk mengajari. Tapi kesempatan dituntun lebih pelan tak jarang membuat si anak semakin lupa kaji; gemetar atau tersadar betapa diri di tubir jurang. Kalau masih saja sulit, kebijakan lain menyusul: si anak tinggal kaji, bahkan turun kaji. Sebagian merasa ini tak lebih buruk dari pada hukuman, karena kata-kata,” Si Farida tak naik kaji,” cepat bergema, membuat malu dan kecil hati. Atau setelah dituntun berulang-ulang, bahwa Tsa bukan Sah, panjang bukan dengung, berhenti bukan langsung, hudam bukan hudan, dan seterusnya, masih saja engkau bingung, maka tak pelak jari telunjukdan ibu jari Uncu Eba membentuk formasi “kunci inggris” yang pas menjepit telinga atau paha siapa saja. Setelah sholat berjamaah, segenggam lidi ganti bicara. Taka datang mengaji tanpa izin, lima kali lecutan ekor pari ganjarannya. Itu biasa. Terimalah dengan kaki menjulur pasrah, agar tegak hukum bagi semua.
Namun Aida, Suraya, Farida dan Antin tak menyerah. Mereka biasa memakai pakaian berlapis. Paha mereka yang kerap jadi sasaran lecut dan cubit didempul pakai kain panjang atau sarung pelekat, sehingga si ekor pari hanya akan menderam di gulungan kain, dan Farida atau Antin, Aida atau Suraya, bakal berpura meringis dan jika perlu berguling sedikit mengaduh, meski jelas ekor pari tak bermata. Dan maghrib ini  menemukana lagi cara unik melindungi telinga dari cubitan Uncu Eba. Sempurna.
Meski tudingan akan aura makam suci serta gunjing yang menyebutnya sebagai guru yang keras terus bergaung, toh Uncu Eba tak kekurangan murid. Sehabis musim Khatam, selalu saja berdatangan orang tua menyerahkan anaknaya ke sana. Idris Abas, ayah Aida, salah satunya, bersimpuh di tikar lusuh, luruh dalam penyerahan, dan disambut sang guru dengan takzim penerimaan.
Masih terbayang di mata kecil Aida, mata tua Uncu Eba, mata yang selalu ditakuti murid-muridnya, menyala seketika seolah lampu minyak yang diperbesar  sumbunya; begitulah sang guru mendapatkan semangat pengabdian dalam hidupnya. Dan aroma anak-anak sepantaran usia TK, SD, hingga SMP yang diantar ke situ, bagai gaharu, damar, atau cendana yang murni dari hutan rimba; tampaknya mampu mengubah wajah sang guru  memperoleh  sedikit cahaya kemudaannya. Lalu dilerai senyuman singkat simpul, kerut–merut wajah Uncu Eba dengan 55 lebih sayatan pisau waktu yang bagaimanapun tak tersembunyikan–mengumpul, membentuk gumpalan halus yang kudus. Ujung tengkuluknya berayun pelan ketika ia merunduk sedikit, menyimak basa-basi penyerahan, ayah atau ibu si anak yang mulai detik itu menyadari bahwa anak-anak panah kecil lincah itu memang bukan milikmu.
Sang guru menarik nafas, malas dan berat.” Entahlah, anak sekarang senang sekolah ketimbang ngaji…”
“ Kini tunjuk ajari anak awak, Ncu, seperti dengan anak sendiri. Jangan segan-segan, Ncu. Malu dan berdosa awak, kalau sampai dia mendurhaka…..”
“Awak terima dia. Tanggung jawabnya berat. Dunia sebegini piciknya, sedang awak harus membuat anak di sini punya telinga , mata hati dan rasa malu.”
Demikian suasana penyerahan dan penerimaan yang terus hidup di kepala Aida. Ya, itulah kata dan laku standar yang berlangsung dalam logat kampung, dan lebih dari itu, dalam logika dan alam pikir kampung. Semua demi sang anak yang lunak, namun sebentar akan tumbuh menantang keras dunia. Maka, jika melenceng dia, akan dibuat selurus jati. Kalau keras hati dia, akan diubah selunak lumpur lempung. Perlu guru  yang tegas, dan akan lebih bagus kalau memang ada aura kekeuatan dari makam keramat leluhur. Agar anak cepat paham , dunia ini kotor belaka. Betapa mulia. Maka tak terpungkiri, makam keramat kadang menjadi pertimbanagan tersendiri  bagi orang tua mengantar anaknya ke rumah Uncu Eba.
Tapi tak usahlah Uncu Eba terlalu diselidik dari keberuntungannya yang didengungkan  sebagian orang dengan nada sumbang, maaf, sesumbang dengung kumbang taik. Kalaupun ada orang tua murid yang menganggap makam keramat penting, apa salah Uncu Eba? Sebagai guru mengaji yang dititahkan tugas suci, perempuan itu menjalankan tugasnya sepenuh hati . Membuat anak-anak hapal kaji, fasih lafaz dan benar tajwidnya, sedari alif ba ta, juz ama, ayat demi ayat sehingga anak-anak khatam  pada waktunya, pada musim ikan atau panen padi. Ia memandu rukuk-sujud anak-anak, menyimak bacaan sholatnya, sampai pada arti dan makna. “Wa anna minal muslimin” akan berubah total bila kau ucapkan “ Wamaa anna minal musyrikin,” demikian suatu amsal. Kalau untuk itu Uncu Eba memanfaatkan rasa kuasanya dengan lidi,”kunci inggris” atau pecut ekor pari di tangan, apa salah ia? Tak. Di kampung yang  menyadari kotornya lumpur dunia, guru mengajilah yang membersihkannya.
Karenanya, alih–alih meraih keberuntungan lantaran rumah panggung tuanya bagai beradu penutu dengan makam keramat Buyut Lebai, malah kemalangan yang banyak  mendera hidup Uncu Eba. Bahwa sebagi guru mengaji dengan tanggung jawab  dunia-kherat ia tak digaji, itu jelas kealpaan masyarakat kampung, tapi itulah hukum yang digariskan. Selain sedikit uang “sedekah lampu” yang jumlahnya tak tentu, seorang guru mengaji hanya mendapat zakat fitrah  sekali setahun. Tak lebih. Uncu Eba paham hukum kebiasaan, maka ia jalani perannya selayak kata penyerahan dan penerimaan, seperti juga para murid yang menjalani hari-hari bersamanya. Tekun berserah. Meski semua anak tidak lari dari ingatan. Sebagian mungkin lupa kata di hari pertama, namun di kepala yang lain kata-kata itu tumbuh menyerupai godaan. Membuat mereka seolah Siti Hawa dengan ketakjuban memandang dunia. Ya, dunia mengaji, dunia anak-anak tapi diliputi ancaman sejak hari pertama penyerahan!
Dan Uncu Ebapun, lebih dari pasrah penyerahan dan penerimaan, sesungguhnya juga bergulat dengan nasibnya yang keras. Sebab di tengah dunia pengabdiannya yang suci, Tuhan mengujinya dengan cobaan. Suaminya Ali Makri, seorang tukang kayu, 12 tahun lebih tua dari Uncu Eba yang perawan tua. Si Ali membawa dua anak tiri, yaitu Zulfaidah, yang keras kepala tapi gampang putus asa. Dua kali ia mencoba bunuh diri; mengiris nadi, dan terjun bebas ke sumur. Yang kecil, Udin, lumayan rajin, tapi ada saja yang tak beres dari kerjanya. Dua anak Uncu Eba sendiri, Faisal dan Rodiyah, manja dan tak tahu diri. Selebihnya adalah kenyataan bahwa si tukang kayu milik Uncu Eba jarang pulang; jika sesekali datang, alamat debat dan tengkar akan berulang. Si Ali kabarnya bertukang sampai Buleleng dan Gianyar. Tapi orang-orang tahu belaka, lelaki bermata juling itu punya perempuan “gendakan” di Siririt, dan kalaupun ke Gianyar, ia menjadi makelar ruma-rumah kayu tua. Lewat perantaranya, entah sudah berapa banyak  rumah panggung-rumah bertiang tinggi khas Kampung Loloan  berpindah tempat ke Ubud, Sanur, dan Tegallalang, sebagian diboyong ke Jawa atau mungkin ujung benua. Meski untuk itu , jarang uangnya  mampir ke tangan Uncu Eba, sang istri yang suci tapi merana.
Di tengah pertengkarannya yang keras, kasar berulang dengan Zulfaidah ; geleng kepala yang ironis kepada Udin yang rajin tapi celaka; nada memelas kepada Rodiyah dan Faisal yang pemalas; serta sumpah setengah hati kepada bang Ali; Uncu Eba berusaha hidup dengan  jalannya sendiri. Pagi-pagi, seusai jam  mengaji, dekat trotoar bobrok depan rumahnya, Uncu Eba berjualan nasi kuning, plecing kangkung, dan penganan lengkap buat sarapan orang-orang yang baru bangun tidur. Di atas sebuah meja panjang dialasi plastik yang di sana sini robek terburai, aneka jualan tergelar, dari sepagi hari sudah dikerubungi orang-orang yang isi perut mereka seolah lenyap dicuri semalam.
Untuk semua pekerjaan menimba air, mengangkat ember, membawa kayu bakar, meniup api di tungku , mencuci, menyetrika dan melipat kain, hingga menyapu halaman dan membuang sampah Uncu Eba mengandalkan tenaga murid-muridnya yang sudah diatur dalam istilah “piket”. Bergantaian antara tiga dan empat anak, kecuali Jum’at. Hari libur . Karena kerja berjualan dimulai sejak dini, maka anak yang mendapat giliran “piket” harus bermalam di rumah guru. Tidur di atas tikar tempat mengaji , berbantal tatakan al Qur’an, berselimut mukena atau sajadah . Jadi orang mesti prihatin.
Hari Senin, giliran Aida, Suraya, Farida dan Antin piket. Siang ini, sepulang sekolah, Aida sudah kembali bergegas menyusuri jalan yang mengelupas itu, jalan yang tak kunjung diaspal pemerintah seperti jalan kampung di bagian lain kota kecilnya. Sehabis mengaji tengah hari, anak-anak berhamburan pulang, tetapi yang piket tinggal membantu guru membereskan pekerjaan rumah; mencuci pakaian keluarga, menyetrikanya dengan setrika bara, dan melipatnya dalam almari kayu, meski sebentar Faisal atau Rodiyah akan memberantakkan seenaknya. Tak ada yang berani menegur, bahkan Uncu Eba pun tidak, ia kelewat memanja anaknya sendiri. Tapi mereka, empat anak satu piket, rajinnya tetap tak kepalang; seolah dengan itu kenakalan mereka dengan sang guru tertebuskan. Rajin mengabdi agar terang otakmu mengabdi……….
Lihatlah mereka: Farida memanggul kayu dari kolong rumah, naik terengah meniti tangga dapur. Aida dan Antin menimba air di sumur, mengisi kolah yang lebarnya seukuran bak mobil pick-up. Suraya, sehabis mencuci piring minta ditimbakan seember air, lalu membawanya ke dapur. Namun di tengah anak tangga ke tiga tubuhnya limbung. Terhuyung. Hampir saja ember jatuh terbanting. Farida yang masih bolak-balik memanggul kayu di punggung melihat sahabatnya itu pucat, dan Suraya sendiri kembali bergegas ke arah sumur. Farida menghempaskan kayu yang dipanggulnya dan berlari menyusul. “ Suraya. Kenapa dia?” sesak nafasnya bertanya kepada Aida dan Antin yang segera menggeleng tak tahu. Tapi bertiga mereka merangsek ke dalam kamar mandi, dan mendapatkan Suraya panik bukan buatan. Ternyata , gadis kelas enam itu merasakan celana dalamnya basah oleh cairan yang tak dikenal! Kini Farida ,murid SMP, menarik nafas lega dan memastikan,”Kau mens! Awak juga seperti ini dulunya.” Aida dan Antin , yang baru lepas masa bocah, melongo bodoh.
Entah karena kelelahan atau memang sudah waktunya bagi Suraya mens pertama, yang jelas piketnya menyita tenaga setiap anak. Dan “piket” itulah hak istimewa seorang guru mengaji. Bukan saja karena sang guru tak digaji, atau lantaran ikhlasnya kata penyerahan pada hari pertama, tapi jauh lebih mulia: lewat cara itulah sang guru mendidik sang anak, lebih dari sekedar urusan mengaji! Jangan aku kira hanya di rumah Uncu Eba saja, karena sang guru faham betul hak  istimewa ini. Biasa anak-anak diajak ke sawah guru, mencabut benih, menyiang rumput, menyukat padi ke dalam  karung goni. Guru lain yang berprofesi sebagai tukang jagal sapi, tidak meluputkan  seorang anakpun  diajak bergantian  sedini hari ke tempat jagal; gudang tua di sudut pasar, genangan darah beku semata kaki. Yang lain  mengajak muridnya ke pelabuhan atau los pasar ikan, mengajarnya berniaga. Dan sekolah itu nomer dua, karena, wahai, menyangkut dunia-seakan pelabuhan , rumah jagal, dan pasar ikan bukan bagian dari hibuknya dunia………..
Uncu Eba menggunakan hak istimewanya ini sebaik-baiknya, yang berarti mendidik anak-anaknya lebih jauh. Mengaji tak sebatas membaca kitab suci tapi juga melatih mengerjakan tugas rumah. Ini menyangkut nasib mereka nanti. Apalagi murid-murid Uncu Eba perempuan semua, yang kelak akan”ber-laki” dan beranak. Dan itu dipandang orang tua sebagai guru yang bertanggung jawab, tak sebatas dunia tapi menjangkau kehidupan luas , jauh ke akhirat……….
Ayah Aida tahu soal ini. Karenanya, hampir setiap waktu Aida mendapat amanat dan petuah: guru mengaji wajib dipatuhi, tak peduli telinga si anak telah lecet berdarah. Si ayah akan balik menuduh Aida tak patuh, jika sesekali gadis kecil terisak mengadu kepada emak-dan emak berbisik ke telinga si ayah,” Benar, Bang, Ncu Eba keras mengajar. Telinga Aida sampai berdarah. Apa sebaiknya dia mengaji lagi di Mak Yah? Dekat rumah,dan waktunya mengaji hanya sekali sehari.”
“ Sehari sekali katamu?!Kapan anak itu khatam?” si ayah geram.
“ Lagian ke sekolah sering telat. Gurunya juga  marah di kelas. Kasihan .”
“Sekolah yang lebih kau pikirkan! Sudah banyak makan biaya, kalau tamat belum tentu jadi orang! Si ayah tambah geram, dan mengulang pesan yang sama ke telinga anaknya yang berdarah,”Rajin-rajinlah membantu guru, patuhi perintahnya, maka akan terang otak kau mengaji!”
Tapi meski berusaha membantu guru dan tidak melalaikan kaji, tetap saja susah bagi Aida membaca , melafal dan menghafal ayat-ayat dengan benar. Akibatnya, seperti semua anak yang pernah merasakan “kunci Inggris”, lidi dan ekor pari, begitu pula Aida. Kadang ia merasa , dirinyalah yang paling sering  menerima hukuman itu, dan telinganyalah yang lebih tebal dari semua. Ia malu dan putus asa, tapi selalu ingat mata ayahnya: mata lelaki penggali kubur yang mengimpikan gadisnya khatam sedini mungkin karena hanya dengan begitu kebanggaan seorang miskin melekat seumur badan.  Bila ingat ayahnya yang bahkan lebih keras dari Uncu Eba, Aida merasa kesal, meski juga iba melihat paras miskin dan harapan berbaur di wajah sang ayah.
Perasaan yang sama tertuju pada sosok sang guru. Perasaan tak suka bercampur kasihan. Sebab Uncu Eba galak di geladak, di arena mengaji, meski juga tidak. Perempuan keras itu , sering membentang sendiri tikar sembahyang untuk jamaah kecilnya: menyiapkan lampu minyak buat berjaga-jaga karena lampu bikinan PLN kerap mendadak mati. Apalagi di luar itu, terutama saat bekerja sama dengan anak yang “piket”, Uncu Eba adalah sosok yang lunak. Kadang, di mata kecil Aida, yang baru sedikit memandang dunia terpancar satu kesan yang samar: sang guru lelah. Sering Aida melihat mata Uncu Eba basah, sisa isak di dadanya. Dalam situasi begitu, sang guru yang garang ganti gelagapan, dan Aida menyelinap membereskan piket di bagian yang lainnya. Aida pun  pernah melihat Uncu Eba menyemburkan gumpalan merah segar dari mulutnya, yang seketika melayang jatuh di tingkap dapur, dan segera diperebutkan ayam-ayam. Selanjutnya dengan terbungkuk-bungkuk Uncu Eba menahan batuk dan menekan sesak dadanya. Aida tak paham apa yang mendera tubuh gurunya. Karena tak tahan, ia berbisik pada Farida,”Uncu Eba batuk darah.”
Farida menutup mulut Aida,”Jangan kau ulangi.”
“Tapi awak lihat sendiri..”
“Iya, tapi jangan kau sebut lagi!”
“Karena awak lihat beberapa kali. Kenapa tak boleh?”
“Nanti semua tahu, jualannya tak laku.”
Aida merasa berdosa , dan sejak itu , apabila tak hapal  kaji, ia merasa berdosa membuka rahasia sang gurulah penyebabnya.
Setelah sepanjang siang mempersembahkan tenaga kepada guru, malamnya sehabis mengaji anak yang piket tergeletak di geladak kecuali Suraya yang alpa. Mungkin ia masih shock  atau sakit pinggang atas kejadian tadi siang. Tanpa kehadiran Suraya terasa ada yang kurang. Anak itu gemar menceritakan segala sesuatu tentang orang lain, dan itu sering mengejutkan. Entah dari mana ia tahu, misalkan,” Lihat ndak Kak Zulfaidah sekarang? Banyak mengalah sama Uncu Eba. Tahu kenapa? Ia pacaran dengan Bang Muklis.” Suasana akan terasa lain, meski semua cerita disampaikan dengan berbisik. Tapi bila malam ini pun Suraya ada, rasanya ia tak mungkin berbisik, dan ketiga sahabatnya juga tak akan menyimak dengan baik. Soalnya malam ini Pak Ali pulang, dan larut malam terdengar suara dari kamar belakang, merambat dan menjalari kepala tiga anak yang tak bisa pejam di geladak.
“ Abang jangan pergi terus, badan awak tambah tak sehat. Nafas  sesak dan batuk da……..,” Uncu Eba terbatuk- batuk.
“Ke dokterlah. Minta antar si Zul.”
“ Awak enggan, takut disebut sakit parah. Lagi pula mahal.”
“Pandai-pandailah jaga badan. Jangan batuk terus.”
“Bagaimana awak menahan batuk, Bang?!”
“Berusaha jangan hanya berdoa terus!”
Tiga anak di luar menerawang memandang pagu. Mereka tahu pertengkaran bakal pecah, dan berulang, seperti biasa.
“Dinding bagian depan hampir roboh!” Uncu Eba beralih soal.
“Besoklah awak perbaiki. Perkakas awak tinggal di Singaraja.”
“Besok, besok abang bilang, tak juga dikerjakan. Apa salahnya pinjam dulu perkakas Idris?”
“Bahan awak juga tak punya. Perlu setidaknya empat tiang penyanggah.”
“Yang lama masih bisa dipakai? Atau ambil di Toko Agung.”
“Ponakanku sudah tak kerja di situ.”
“Tapi Muklis yang disukai anakmu jadi sopir kepercayaan di sana.”
“Awak tak mau tahu!”
“Bilang sama si Zul anakmu itu, kalau pacaran jangan di balik pagar. Ini tempat mengaji. Banyak anak-anak. Dasar gatal! Mendingan ayahnya peduli, pulang saja jarang. Rumah mau roboh masih saja tak mau tahu.”
“Ah sudahlah! Kalau  roboh jual saja ke Ubud, habis urusan! Kita bisa bangun rumah tembok yang baru. “Kan begitu dulu usulku?”
Benar, pertengkaran meledak semalaman, disimak anak yang tak bisa pejam. Mata dan jiwa mereka dipaksa menerima suara kelam dunia. Memang menyedihkan. Rumah panggung guru mengaji itu sudah miring. Sementara di sepanjang jalan lain, gang dan sudut kampung, orang-orang berlomba membangun rumah baru, atau sekedarnya membuatnya lebih besar. Ada rumah tukang emas, dekat masjid yang terbengkalai, justru dibangun berlantai empat. Kabarnya ada kolam renang segala di lantai atas. Rumah megah juragan beras, istana pualam pengusaha  sarang walet, semua menyumbul di tengah kesengsaraan kampung. Seperti mengejek nasib sang guru yang diam-diam bergulat dengan penyakitnya, tanpa dokter dan obat. Mengejek juga kampung-kampung keseluruhan  yang nelangsa dengan deretan rumah panggung tua, rumah-rumah kotak setengah gedek yang terus tumbuh berdempet, diantara sedikit rumah batu berplafon rendah sisa bantuan korban gempa tahun 70-an.
Sedini hari ketika Aida yang lain terbangun, sesosok bayang  tampak berkelebat turun. “Pak Ali pergi lagi,” bisik Antin. Yang lain mengangguk. Mengerti. Dan seolah tak terjadi apa pun semalam, ketiganya segera membantu sang guru. Uncu Eba tampak pucat, pasti karena tak tidur. Tapi kemudian, Aida bergegas mencari Farida. “Awak lihat Ncu Eba batuk darah lagi,” lapornya seolah tak bisa menahan diri.
“Juga kulihat sendiri,” kali ini Farida ikut  bicara, sedih.
“Nafasnya sesak, mungkin kita tak mengaji pagi ini.”
“Asyik!” Antin malah bersorak dalam hati.
Tapi diluar dugaan  mereka, pengajian berlangsung sebagaimana biasa. Tugas tiga anak yang piket selesai tepat waktu, dan anak-anak yang lain datang. Mereka berebut mengambil air sembahyang di kolah yang sudah diisi oleh yang piket. Uncu Eba tetap jadi imam. Di luar dugaan pula, Suraya datang bergegas, tapi teringat sesuatu; eit, jangan lupa mendempul pahamu karena ekor pari telah menanti! Maka cekatan Suraya membelitkan kain panjang di pahanya. Namun dalam gegas di pagi samar itu, Faisal muncul dari balik kolah dengan wajah tak berdosa,”Kau pakai pakaian tebal-tebal biar tak sakit kena pukul, ya?” Suraya gelagapan dan panik. “Awak bilang ke emak,kalau ndak boleh lihat rambutmu.” Suraya, antara kaget dan takjub, reflek melorotkan kerudungnya.
Di atas rumah, diantara batuknya yang kian bertubi, Uncu Eba selesai mengucap salam. Sebentar lagi anak-anak akan bersicepat mengeja dan menghapal kaji. Saat itulah Suraya muncul, dan Uncu Eba yang menganggapnya tak ikut berjamaah seketika berseru,”Faisal, ambilkan ekor pariku di bilik!” Tanpa rasa bersalah memenuhi permintaan si emak. Suraya menatapnya tak suka. Tapi remaja kencur itu balik menatap Suraya, mengejek dan menggoda.
“Kemana saja kau tak mengaji semalam , hah?!”
“Awak sakit, Ncu.”
“Sakit katamu? Siang masih piket, malam kau bilang sakit. Bohong! Awak lihat segar-bugar badan kau!” Ces! Cambuk berayun, mendarat di paha  Suraya. ”Lagi, biar lenyap iblis-iblis di kaki kau, agar tak malas melangkah kemari!” Ces! Ekor pari terayun lagi di tengah omelan tak henti. “Sudah alpa mengaji, eh, tak sholat berjamaah pula . Neraka, neraka di kepala kau!”
“Tapi awak.” Suraya ingin menjelaskan bahwa saat ini ia tak boleh sholat, tapi alangkah sukar menemukan bahasa yang tepat. Ces! Ekor pari mendarat lagi, dan untuk pertama kali seorang korbannya menangis. Campuran rasa kesal, putus asa, dan sakit mendera. Uncu Ebapun sepertinya melampiaskan pertengkarannya semalam dengan kompensasi menggempur si murid.
Aida dan Farida sungguh terteror dan iba  melihat Suraya. Mereka sadar, dalam situasi seperti ini sebentar lagi pasti giliran mereka yang kena pecut atau cubit. Sebab seketika mereka merasa hilang minat pada ayat-ayat yang hendak dibaca. Bergegas mereka pamit ke belakang, tapi secepat itu Uncu Eba melarang, berang,”Diam di tempat kau!” Tapi Fariad tetap telanjur pergi, seolah tak mendengar suara sang guru  yang merasa terasa lemah. Sebaliknya, Aida yang tertahan langkah segera mengeluarkan jurus tipu-dayanya: ia buat wajahnya mengkerut sedemikian rupa, seperti orang yang tengah susah payah…….
“Kenapa kau ini?”
“Awak sesak kencing, Ncu…?”
Ya, wajahnya seperti menahan kencing , .itu mungkin memang demikian karena merasa terancam! “ Pergilah, cepat!” Dan Aida lolos………..
Di dapur, sebagaimana mereka semula, kedua gadis kecil itu segera mengendap mencari botol minyak goreng buat melindungi telinga. Tapi sial! Mereka mendapatkan botol yang kosong. Aha, ada minyak jelantah di dalam kuali! Takjub, dan gemetar, mereka mencelupkan jarinya ke dalam kuali dan segera meminyaki telinga mereka yang malang.
“Jangan banyak-banyak , ntar ketahuan!” bisik Farida. Aida tak peduli. Marah, panik dan putus asa, entah kepada siapa membuat Aida melumuri bahkan bukan hanya telinga, tapi juga tangan dan kakinya. Minyak menetes-netes di lantai dapur, dan merekapun tak peduli. Secepatnya mereka kembali ke geladak, bersiap menerima hukuman kalau kaji semalam tak terlafazkan dengan benar atau jika Uncu Eba marah karena curiga. Tapi Uncu Eba, sehabis mendera Suraya dengan ekor pari lebih lima kali; kompensasi antara sakit tubuh dan dikhianati suami hilang keseimbangan. Batuknya kian menjadi, dada sesak, kembang kempis, turun naik, letih. Akhirnya, dengan wibawa yang tak hilang, ia perintahkan Zulfaidah menggantikannya, sementara ia sendiri berusaha untuk tidak limbung menuju bagian terujung rumah  panggung dapur. Mungkin untuk memuntahkan dahak, meredam batuk agar tak kentara disimak anak-anak antau mencari air hangat.
Namun berselang tak lama kemudian, yang terdengar bukan suara batuk yang tertahan, atau air yang tertuang, melainkan gedebum sesuatu, terhempas terjatuh! Cepat Zulfaidah bangkit, diikuti beberapa murid yang segera berlari menjenguk. Mereka dapatkan sang guru terkapar di dapur! Menggelepar sebentar, lantas mengejang. Seketika suara histeris memecah subuh; kalimat-kalimat suci berbaur dengan kalimat panik tak berarti. “Ncu, Mak,” berulangkali diteriakkan, tapi tubuh malang itu tak juga jaga. Lalu diam. Sebentar. Terdengar erang  yang menandakan nafas kehidupan ke luar dari mulut Uncu Eba yang lamat mengucapkan syahadat, seiring mata kelerengnya lemah terkatub. Sesekali memutih dan mengerjap. Para tetangga datang bergegas, menyarankan agar sang guru yang malang dilarikan ke rumah sakit terdekat. Segera. Sebuah dokar distop, dan dalam pelukan Zulfaidah, Uncu Eba terangguk-angguk dibawa ke utara, ke rumah sakit daerah. Beberap anak berlarian mengikuti dokar di belakang dengan selendang hitam-putih berkibaran didera fajar dan angin pagi yang murni. Tetapi satu persatu dengan nafas sesak dan tertegak bengong di trotoar, antara keinginan melambai atau tidak. Sebagian tergugu di bawah kolong rumah, takjub terpana.
Dan diam-diam di balik tonggak rumah tua, dua mata bening saling tatap. Mereka teringat minyak jelantah yang menetes-netes atau tumpah di  lantai papan yang licin………….
Subuh itu Aida pulang dengan langkah tak biasa. Serasa tak menjejak tanah. Rasa tak sanggup ia sampaikan kabar duka itu kepada ayahnya dan orang rumah. Tapi sebagai penggali kubur, sebentar kabar pada ayahnya cepat tersampaikan orang lewat, mendahului mulut Aida yang gugu, bahkan lebih gawat: Uncu Eba meninggal di atas dokar! Innalillahi……….Saat itu juga, ketakutan dan kecemasan bagi maut lain; mengendap di wajah kecil Aida yang kini seakan penuh dosa. Hitam, seperti minyak jelantah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tulis komentar anda , untuk menambah dan memperbaiki kualitas blog kami